Senin, 09 Desember 2013

GURU TIDAK PROFESIONAL KARENA MUDAHNYA MENJADI


Jika suatu negara ingin meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya maka perbaiki sistem pendidikannya. Itulah keyakinan yang dianut oleh semua bangsa yang ingin menjadi negara maju. 
Kebijakan pemerintah memberikan kesempatan bagi semua lulusan perguruan tinggi bisa menjadi guru asalkan mereka telah menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG) perlu disikapi dan dicermati secara seksama. Kebijakan ini disatu sisi sangat baik karena mengakomodir semuanya, tetapi disisi lain menjadi ancaman bagi PT yang berorientasi mencetak para guru/pendidik, semisal Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) di PTAI dan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di PTU jika tidak meningkatkan kompetensi dan kualitas para lulusannya. Sebab tidak menutup kemungkinan output dari PT umum lebih baik kualitas lulusannya karena core subject yang dipelajari jauh lebih mendalam dan menyeluruh daripada FITK dan FIP. Hanya perlu pendidikan profesi selama 1 tahun saja untuk belajar tentang teori didaktik metodik tentang bagaimana model, strategi dan metode serta teknik mengajar yang baik.
 
Persoalan yang kemudian muncul adalah "Apakah Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) selaku pelaksana kegiatan tersebut sudah melakukan standarisasi dalam prosesnya atau bahkan sudah distandarisasikan?.
Berkaca ke Malaysia saat ini mereka sedang membangun Blue Print dalam mencetak guru professional. Hal ini disampaikan Zailah Zainudin dosen Raja Melewar dalam seminar Nasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (26/11/2013) bahwa guru menjadi Preference Choice di Negaranya. Sebab itu tidak mudah untuk menjadi guru di Negeri Twin Tower tersebut.
Pernyataan lain dari Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Sunaryo Kartadinata, yang juga Ketua Asosiasi LPTK Indonesia (ALPTKI), mengatakan bahwa harus ada pembatasan jumlah LPTK yang saat ini mencapai angka sekitar 370 lebih yang tidak jelas standarnya. Dari jumlah tersebut ada 34 LPTK negeri. "Persoalannya mengapa LPTK yang tidak memenuhi standar itu bisa terselenggara dan mendapat izin. Mengapa jumlah itu sampai tidak terkendali? Oleh karena itu, ALPTKI mengambil langkah untuk standarisasi LPTK, termasuk menyiapkan sistem akreditasi sendiri," kata Sunaryo (Kompas, 8/1/2013).
LPTK sebagai lembaga untuk mempersiapkan calon guru pun dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal dan berkualitas demi menyiapkan calon-calon pendidik yang berkualitas. Pendidikan Profesi Guru merupakan sebuah kebijakan yang mengakomodir tuntutan kualitas tenaga pendidik yang diupayakan oleh pemerintah melalui lahirnya PP No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Permendiknas No. 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Guru Pra Jabatan (PPG) sebagai terjemahan legal-formal dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD). 
Regulasi baru ini diusahakan mampu mengimplementasikan kehendak hukum dari UU GD lebih khususnya tentang  guru. Konstruksi pandangan masyarakat berubah secara sosial-kultural, saat ini guru diberikan berbagai tunjangan (bahkan guru PNS), lebih diperhatikan pemerintah dan bahasa harapan lainnya. Dengan hadirnya regulasi ini, Profesi guru menjadi profesi yang menjanjikan secara ekonomi bagi masyarakat pendidikan Indonesia.
Syarat menjadi guru profesional secara eksplisit tertera dalam PP No. 74 Tahun 2008 yaitu wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi akademik dan sertifikat pendidik. Aturan ini pun kemudian melahirkan kebijakan teknis bagi guru seperti program sertifikasi dalam jabatan yang diatur dalam PP No. 10 Tahun 2009. Dalam pelaksanaannya, guru-guru harus mengikuti uji kompetensi melalui format penilaian portofolio untuk mendapatkan sertifikat pendidik.
Jika demikian, maka karena LPTK sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan profesi guru, maka perlu adanya pembatasan serta standarisasi yang jelas, agar nantinya profesi guru benar-benar menjadi suatu profesi yang sangat dihormati dan dapat meningkatkan kualitas peserta didik. Sebab itu menjadi guru professional bukan dicapai dengan cara yang INSTAN dan ASAL-ASAL, masak buat anak (peserta didik) coba-coba???. Wallahu a’lamu bishowab

Jumat, 15 November 2013

TUGAS REMIDI UTS MATA KULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN S1

Petunjuk kerja:
1. Tuliskan dalam bentuk makalah dengan kertas A4
2. Kerjakan dengan tidak melakukan plagiasi dari jawaban temannya.
3. Jawaban dikumpulkan sesuai dengan jadual pertemuan (perkuliahan)
3. Jawaban yang sama akan dianulir

Soal:
1. Carilah dan tuliskan lengkap beserta syakal dan artinya ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan atau memiliki kesesuaian prinsip dengan teori belajar dan pembelajaran. (minimal 3)
2. Carilah dan tuliskan lengkap Hadist yang berhubungan atau memiliki kesesuaian prinsip dengan teori belajar dan pembelajaran beserta perawi dan sumber hadistnya. (minimal 3)
3. Buatlah Peta Konsep teori belajar dan pembelajaran Behavioristik dan Kognitivistik.

Do your best work and good luck.

Selasa, 29 Oktober 2013

MENGUKUR MASA DEPAN ORGANISASI MELALUI PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD (BSC)

Oleh: Dr. Agus Zaenul Fitri, M.Pd
     Abstrak:
The balanced scorecard has evolved from its early use as a simple performance measurement framework to a full strategic planning and management system. The “new” balanced scorecard transforms an organization’s strategic plan from an attractive but passive document into the "marching orders" for the organization on a daily basis. It provides a framework that not only provides performance measurements, but helps planners identify what should be done and measured. It enables executives to truly execute their strategies.

Kata Kunci: Mengukur, Masa depan Organisasi, Balance Scorecard.

Pendahuluan
Pengukuran kinerja suatu organisasi/perusahaan adalah sangat penting bagi para manajer untuk mengevaluasi dan merencanakan masa depan. Beberapa jenis informasi yang digunakan dalam pengendalian disiapkan dalam rangka menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan telah dilakukan secara efektif dan efisien. Kelebihan Balance Scorecard (BSC) dengan model pengukuran yang lain adalah pada keseimbangan empat perspektif (Financial, Customer, Internal Business Processes, Learning and Growth). Selain itu, BSC mampu mengukur performansi organisai dimasa depan. Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi sebuah organisasi. Pengukuran tersebut, dapat digunakan untuk menilai keberhasilan organisasi serta sebagai dasar penyusunan imbalan dalam organisasi. Selama ini pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada sisi keuangan. Manajer yang berhasil mencapai tingkat keuntungan yang tinggi akan dinilai berhasil dan memperoleh imbalan yang baik dari organisasi. Akan tetapi, menilai kinerja organisasi semata-mata dari sisi keuangan akan dapat menyesatkan, karena kinerja keuangan yang baik saat ini dapat dicapai dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan jangka panjang organisasi. Dan sebaliknya, kinerja keuangan yang kurang baik dalam jangka pendek dapat terjadi karena organisasi melakukan investasi-investasi demi kekepentingan jangka panjang. (Ali Mutasowifin, 2002: 245). Untuk mengatasi kekurangan ini, maka diciptakan suatu metode pendekatan yang mengukur kinerja organisasi dengan mempertimbangkan 4 aspek yaitu aspek keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta proses belajar dan berkembang.

Konsep Balanced Scorecard (BSC)
Balanced Scorecard menurut Robert S. Kaplan dan David P. Norton (1997:7) merupakan suatu metode penilaian yang mencakup empat perspektif untuk mengukur kinerja organisasi, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Balanced Scorecard terdiri dari 2 suku kata yaitu kartu nilai (scorecard) dan balanced (berimbang). Maksudnya adalah kartu nilai untuk mengukur kinerja personil yang dibandingkan dengan kinerja yang direncanakan, serta dapat digunakan sebagai evaluasi. Serta berimbang (balanced) artinya kinerja personil diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Karena itu jika kartu skor personil digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan, personil tersebut harus memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan non-keuangan, kinerja jangka pendek dan jangka panjang, serta antara kinerja bersifat internal dan kinerja eksternal (fokus komprehensif).
Balanced Scorecard (BSC) merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David Norton (Renaissance Solution, Inc.). Pengakuan atas beberapa kelemahan dan ketidakjelasan dari pendekatan pengukuran kinerja keuangan sebelumnya, BSC menyajikan sebuah perspektif yang jelas sebagaimana sebuah organisasi harus mengukur supaya tercapai keseimbangan perspektif keuangan. Kaplan dan Norton merangkum rasional untuk BSC sebagai berikut.
BSC tetap mempertahankan pengukuran keuangan tradisional, tetapi pengukuran keuangan menceritakan kejadian masa lalu, suatu laporan yang cukup untuk era industri untuk kemampuan investasi jangka panjang dan relationship pelanggan tidak secara kritis untuk keberhasilan. Pengukuran keuangan adalah tidak layak, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan yang mana organisasi pada era informasi harus membuat suatu nilai masa depan melalui investasi dalam pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.
BSC menyarankan bahwa kita melihat suatu kinerja organisasi dari empat perspektif berikut: (1) The Learning and Growth Perspective, (2) The Business Process Perspective, (3) The Customer Perspective, dan (4) The Financial Perspective.

Learning and Growth Perspective.
Kategori-kategori yang terdapat dalam perspektif ini teridiri atas kemampuan karyawan; kemampuan sistem informasi; dan motivasi, pemberdayaan, serta kesesuaian dengan standard kinerja. Ukuran intinya adalah produktivitas karyawan, yang diukur dari: jumlah output tiap karyawan, tingkat kepuasan karyawan, tinggi rendahnya pengakuan terhadap prestasi karyawan, tingkat keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, kemudahan akses karyawan terhadap informasi yang menunjang pekerjaannya, dan tingkat retensi atau penolakan karyawan, yang diukur dari jumlah perputaran (turn over) staf atau karyawan potensial.

Internal-Business-Process Perspective.
 Dalam perspektif internal-business-process, manajer mengenali proses-proses kritis pada yang mana mereka harus unggul jika mereka akan mencapai tujuan-tujuan dari shareholder dan segmenpelanggan yang menjadi target. Sistem pengukuran performans konvensional fokus hanya pada monitoring dan peningkatan biaya, mutu, dan waktu yang didasarkan pada proses bisnis yang ada. Secara jelas, pendekatan dari BSC memungkinkan permintaan untuk performans proses internal untuk menurunkan harapan-haran khusus dari pihak eksternal organisasi.

Customer Perspective.
 Perspektif pelanggan ini menggambarkan tampilan organisasi di mata pelanggan. Hal ini merupakan konsekuensi dari tingkat persaingan usaha yang makin ketat, sehingga organisasi dituntut memahami kebutuhan pelanggannya (customer driven company). Ukuran utama dari perspektif pelanggan adalah market share, custumer acquisition, custumer retention, customer satisfaction, dan customer profitability. Kelima buah ukuran ini tidaklah terpisah-pisah, melainkan memiliki saling keterhubungan.

Financial Perspective.
 Tujuan finansial menyajikan suatu fokus untuk tujuan dan ukuran dalam seluruh perspektif BSC. Setiap ukuran dipilih harus menjadi bagian dari suatu hubungan sebab-akibat yang memuncak dalam peningkatan performans keuangan. BSC harus menguraikan tentang strategi, dimulai dengan tujuan finansial jangka panjang, dan kemudian keterkaitannya terhadap bagian-bagian tindakan yang harus diambil dengan proses finansial, pelanggan, internal proses, dan terakhir karyawan dan sistem untuk mengantarkan performansi ekonomis jangka panjang yang diharapkan. Walaupun bergantung pada daur hidup industrinya, tujuan strategi perspektif keuangan pada umumnya terkait pada upaya: peningkatan pendapatan, pengurangan biaya atau peningkatan produktivitas, dan utilisasi aset organisasi.
Dibandingkan dengan konsep manajemen strategis umum, BSC memiliki beberapa konsep penting: (1) Menambahkan 3 perspektif tambahan pada perspektif finansial yang telah ada; (2) Konsep penting kedua adalah penggunaan indikator leading dan lagging. Indikator lagging adalah pengukuran yang menjelaskan sesuatu telah terjadi, karena itu jika organisasi bereaksi pada pengukuran itu akan menjadi terlambat. Contohnya adalah ukuran finansial itu sendiri. Indikator leading sebaliknya menceritakan sesuatu mengenai masa depan. Contohnya jika organisasi memperbaiki indeks kepuasan pelanggannya, maka organisasi akan dalam jalur yang benar mendapatkan penjualan tahunan yang lebih baik; dan (3) Hubungan sebab-akibat. Jika kita memiliki sejumlah indikator yang terkait dalam cara dimana kinerja sekarang satu indikator menjadi indikasi kinerja yang baik di masa depan dari indikator yang lain, maka kita telah membangun peta hubungan sebab-akibat.
   Balanced Scorecard menekankan bahwa pengukuran keuangan dan non keuangan harus merupakan bagian dari informasi bagi seluruh pegawai dari semua tingkatan bagi organisasi. Tujuan dan pengukuran dalam Balanced Scorecard bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan yang ada, melainkan merupakan hasil dari suatu proses atas bawah (top-down) berdasarkan misi dan strategi dari suatu unit usaha, misi dan strategi tersebut harus diterjemahkan dalam tujuan dan pengukuran yang lebih nyata (Teuku Mirza, 1997: 14).

11. Komunikasi & hubungan
Balanced Scorecard memperlihatkan kepada setiap karyawan apa yang dilakukan organisasi untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham konsumen karena untuk tujuan tersebut dibutuhkan kinerja karyawan yang baik. Untuk itu Scorecard menunjukkan strategi yang menyeluruh yang terdiri dari 3 kegiatan: (1) Communicating dan education; (2) Setting goal; dan (3) Linking reward to performance measure.

22.  Rencana Bisnis
Rencana bisnis memungkinkan organisasi mengintegrasikan antara bisnis dan rencana keuangan mereka. Hampir semua organisasi pada saat ini mengimplementasikan berbagai macam program yang mempunyai keunggulan masing-masing yang saling bersaing antara satu dengan yang lain, sehingga akan menyulitkan manajer untuk mengintegrasikan ide-ide yang muncul dan berbeda di setiap departemen. Dengan menggunakan Balanced Scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan mengatur mana yang lebih penting untuk diprioritaskan akan menggerakkan mereka ke arah tujuan jangka panjang organisasi menyeluruh.

33.   Umpan balik dan pembelajaran
Dengan Balanced Scorecard sebagai pusat system manajemen organisasi maka organisasi tersebut akan dapat melakukan monitor terhadap apa yang dihasilkan organisasi dalam jangka pendek dari tiga perspektif yang ada dalam Balanced Scorecard yaitu konsumen, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan akan dijadikan sebagai umpan balik dalam mengevaluasi strategi dalam kinerja.

Kinerja Perspektif Keuangan
Kinerja keuangan Pada Balanced Scorecard tetap menjadi perhatian, karena ukuran keuangan merupakan suatu ikhtisar dan konsekuensi ekonomi yang terjadi yang disebabkan oleh keputusan dan ekonomi yang diambil (Teuku Mirza, 1997: 15). Ukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi, sasaran strategik, inisiatif strategik dan implementasinya mampu memberikan kontribusi dalam menghasilkan laba bagi organisasi, Kaplan & Norton (1996: 48), mengidentifikasikan tiga tahapan dari siklus kehidupan bisnis yaitu:

1.      Pertumbuhan (growth)
Growth adalah tahap pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu organisasi memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki tingkat pertumbuhan yang baik sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang biak. Perusahaan dalam tahap ini mungkin secara actual beroperasi dalam arus kas yang negatif dari tingkat pengembalian atas modal investasi yang rendah. Sasaran keuangan dari bisnis yang berada pada tahap ini seharusnya menekankan pengukuran pada tingkat pertumbuhan penerimaan atau penjualan dalam pasar yang ditargetkan.

2.      Bertahan (Sustain Stage)
Sustain stage merupakan suatu tahap dimana organisasi masih melakukan investasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Dalam hal ini organisasi berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Secara konsisten pada tahap ini organisasi tidak lagi bertumpuk pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuntungan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.

3.      Menuai (Harvest)
Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana organisasi melakukan panen terhadap investasi yang dibuat pada dua tahap sebelumnya. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk pemeliharaan peralatan dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi/membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan kas yang masuk ke organisasi. Untuk menjadikan organisasi suatu institusi yang mampu berkreasi diperlukan keunggulan di bidang keuangan. Melalui keunggulan di bidang ini, organisasi menguasai sumber daya yang sangat diperlukan untuk mewujudkan tiga perspektif strategi lain yaitu perspektif pelanggan perspektif proses bisnis internal dan perspektif proses pertumbuhan dan pembelajaran.

Kinerja Perspektif Konsumen
Suatu produk atau jasa dikatakan mempunyai nilai bagi konsumennya jika manfaat yang diterimanya relatif lebih tinggi dari pada pengorbanan yang dikeluarkan oleh konsumen tersebut untuk mendapat produk dan jasa itu. Produk atau jasa tersebut akan semakin mempunyai nilai apabila manfaatnya mendekati ataupun melebihi dari apa yang diharapkan oleh konsumen. Menurut Kaplan dan Norton (1956) organisasi diharapkan mampu membuat suatu segmentasi pasar dan ditentukan target pasarnya yang paling mungkin untuk dijadikan sasaran sesuai dengan kamampuan sumber daya dan rencana jangka panjang organisasi.

Perspektif Proses Internal Bisnis
Dalam perspektif bisnis internal, organisasi harus meng-identifikasikan proses internal yang penting dimana organisasi harus melakukannya dengan sebaikbaiknya. Karena proses internal tersebut memiliki nilai-nilai yang diinginkan pelanggan dan akan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh pemegang saham (Ancella Hermawan, 1996: 56).
Para manager harus memfokuskan perhatiannya pada proses bisnis internal yang menjadi penentu kepuasan pelanggan kinerja organisasi dari perspektif pelanggan. Kinerja dari perspektif tersebut diperoleh dari proses kinerja bisnis internal yang diselenggarakan organisasi. Perusahaan harus memilih proses dan kompetensi yang menjadi unggulannya dan menentukan ukuran-ukuran untuk menilai kinerja-kinerja proses dan kompetensi tersebut. Analisis atau proses bisnis internal organisasi dilakukan melalui analisis rantai nilai (value chain analysist).
Masing-masing organisasi mempunyai seperangkat proses penciptaan nilai yang unik bagi pelanggannya. Secara umum Kaplan dan Norton (1996: 96) membaginya menjadi tiga prinsip dasar yaitu: (1) Inovasi. Pengukuran kinerja dalam proses inovasi selama ini kurang mendapatkan perhatian, dibandingkan pengukuran kinerja yang dilakukan dalam proses operasi. Pada tahap ini organisasi mengidentifikasikan keinginan dan kebutuhan para pelanggan di masa mendatang serta merumuskan cara untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut; (2) Operasi. Tahap ini merupakan tahap akhir di mana organisasi secara nyata berupaya untuk memberikan solusi kepada para pelanggannya dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan langganan dan kebutuhan mereka. Kegiatan operasional berasal dari penerimaan pesanan dari pelanggan dan berakhir dengan pengiriman produk atau jasa pada pelanggan. Kegiatan ini lebih mudah diukur kejadiannya yang rutin dan terulang; dan (3) Layanan pasca jual
Dalam tahap ini organisasi berupaya memberikan manfaat tambahan kepada para pelanggan yang telah membeli produk-produknya dalam bentuk layanan pasca transaksi.

Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Tujuan dimasukkannya kinerja ini adalah untuk mendorong organisasi menjadi organisasi belajar (learning organization) sekaligus mendorong pertumbuhannya (Teuku Mirza, Usahawan, 1997). Kaplan dan Norton membagi tolak ukur perspektif ini dalam tiga prinsip yaitu:
Pertama, People. Tenaga kerja pada organisasi dewasa ini lebih lanjut dituntut untuk dapat berpikir kritis dan melakukan evaluasi terhadap proses dan lingkungan untuk dapat memberikan usulan perbaikan. Oleh sebab itu, dalam pengukuran strategi organisasi, salah satunya harus berkaitan secara spesifik dengan kemampuan pegawai, yaitu apakah organisasi telah mencanangkan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki. Dalam kaitannya dengan sumber daya manusia ada tiga hal yang perlu ditinjau dalam menerapkan Balanced Scorecard: (1) Tingkat kepuasan karyawan. Kepuasan karyawan merupakan suatu para kondisi untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, pelayanan kepada konsumen dan kecepatan bereaksi. Kepuasan karyawan menjadi hal yang penting khususnya bagi organisasi jasa; (2) Tingkat perputaran karyawan (retensi karyawan). Retensi karyawan adalah kemampuan organisasi untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaiknya untuk terus berada dalam organisasinya. Perusahaan yang telah melakukan investasi dalam sumber daya manusia akan sia-sia apabila tidak mempertahankan karyawannya untuk terus berada dalam organisasi; dan (3) Produktivitas karyawan. Produktivitas merupakan hasil dari pengaruh rata-rata dari peningkatan keahlian dan semangat inovasi, perbaikan proses internal, dan tingkat kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah menghubungkan output yang dilakukan para pekerja terhadap jumlah keseluruhan pekerja.
Kedua, System. Motivasi dan ketrampilan karyawan saja tidak cukup untuk menunjang pencapaian tujuan proses pembelajaran dan pertumbuhan apabila mereka tidak memiliki informasi yang memadai. Pegawai di bidang operasional memerlukan informasi yang memadai. Pegawai di bidang operasional memerlukan informasi yang cepat, tepat waktu dan akurat sebagai umpan balik, oleh sebab itu karyawan membutuhkan suatu system informasi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Ketiga, Organizational Procedure. Prosedur yang dilakukan suatu organisasi perlu diperhatikan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Prosedur dan perbaikan rutinitas harus diteruskan karena karyawan yang sempurna dengan informasi yang berlimpah tidak akan memberikan kontribusi pada keberhasilan usaha apabila mereka tidak dimotivasi untuk bertindak selaras dengan tujuan organisasi atau apabila mereka tidak diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan atau bertindak.
Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, organisasi melihat 3 faktor utama, yaitu Orang, Sistem, dan Prosedur organisasi yang berperan dalam pertumbuhan jangka panjang organisasi.  Hasil pengukuran ke 3 perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang handal. Untuk memperkecil kesenjangan ini organisasi  harus melakukan investasi kedalam 3 faktor tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi  jangka panjang.
Balance Scorecard mengembangkan tujuan dan ukuran untuk mendorong pembelajaran dan pertumbuhan organisasi.  Tujuan yang ditetapkan dalam perspektif keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern mengidentifikasikan dimana organisasi harus unggul untuk mencapai kinerja yang handal.  Tujuan di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menyediakan infrastruktur untuk mencapai tujuan dari ke 3 perspektif Balance Scorecard  lainnya, dan merupakan pendorong untuk mencapai hasil yang baik sekaligus mendorong organisasi menjadi Learning Organization dan memicu  pertumbuhannya. 
Balance Scorecard tidak hanya menekankan investasi untuk perlengkapan baru atau penelitian dan pengembangan produk baru saja tetapi organisasi harus melakukan investasi di dalam infrastruktur organisasi itu sendiri yang terdiri dari orang, sistem dan prosedur.  Umumnya organisasi organisasi di lapangan menunjukkan adanya suatu kecenderungan untuk mengaplikasikan struktur organisasi desentralisasi berikut jenis kepemimpinannya dan ini akan berlanjut terus di kemudian hari.  Sistem desentralisasi ini dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia menurut para pelaku ekonom dapat diarahkan untuk meningkatkan efektifitas dan keunggulan kompetitif bagi organisasi, meskipun manajemen akan menghadapi kesulitan dalam menghadapi visi strateginya dan mengeleminir conflik of interest yang mengarah pada keselarasan tujuan (gool congruence). Menurut pendapat Kaplan dan Norton (1996), dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ada tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Kemampuan pekerja (Employee capabilities); (2) Kemampuan sistem informasi (Information system capabilities); dan (3) Motivasi, Pemberdayaan dan Penyetaraan (Motivation, empowerment, and alignment)
Konsep hubungan sebab-akibat memegang peranan yang sangat penting dalam Balance Scorecard, terutama dalam penjabaran tujuan dan pengukuran masing-masing perspektif. Unsur sebab-akibat tersebut akan berkaitan antara keempat perspektif yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya pertama-tama ditetapkan tujuan perspektif keuangan, yaitu Return On Capital Employed (ROCE). Pemicu kinerja tersebut adalah tingkat penjualan yang tinggi pada pelanggan, yang merupakan hasil dar loyalitas pelanggan. Sehingga loyalitas pelanggan akan dimasukkan dalam Balance Scorecard yaitu dalam kategori perspektif pelanggan karena dianggap mempunyai pengaruh kuat terhadap besarnya ROCE. Dengan analisa preferensi pelanggan disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan dapat diperoleh melalui pengiriman tepat waktu. Sehingga perbaikan dalam hal pengiriman tepat waktu, akan menambah loyalitas pelanggan yang akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan. Loyalitas pelanggan dan pengiriman tepat waktu akan dimasukkan dalam perspektif pelanggan. Selanjutnya harus dilihat proses bisnis internal apakah yang perlu dilakukan sebaik mungkin oleh organisasi apabila ingin memperoleh pengiriman tepat waktu. Faktor waktu siklus produksi yang singkat dan kualitas proses internal yang tinggi merupakan faktor-faktor yang akan dimasukkan dalam proses bisnis internal Balance Scorecard karena dianggap merupakan faktor yang menentukan pengiriman yang tepat waktu. Dan akhirnya, penurunan waktu siklus produksi dan proses internal yang berkwalitas tinggi dapat diperoleh dengan melatih dan meningkatkan kemampuan pegawai operasional, sehingga faktor pelatihan dan peningkatan kemampuan pegawai akan dimasukkan dalam perspetif proses Pembelajaran dan pertumbuhan dalam Balance Scorecard. Dengan demikian, suatu unit usaha organisasi, dan setiap pengukuran dalam Balance Scorecard harus merupakan elemen dari rantai hubungan sebab-akibat.
Balance Scorecard yang baik juga harus mencerminkan bauran antara pengukuran hasil yang diperoleh dan pengukuran terhadap pemicu kinerja. Pengukuran atas hasil yang diperoleh tidak menunjukkan bagaimana hasil tersebut diperoleh dan tidak memberikan indikasi awal apakah strategi organisasi dilaksanakan dengan sukses atau tidak. Sebaliknya, pengukuran atas pemicu kinerja, misalnya waktu siklus produksi atau tingkat kerusakan dalam produksi, hanya memberikan informasi apakah organisasi dapat mencapai perbaikan operasional jangka pendek, tetapi tidak mengungkapkan apakah perbaikan operasional tersebut berdampak pada peningkatan usaha maupun kinerja keuangan.
 Idealnya suatu organisasi tidak hanya mempertahankan kinerja relatif yang ada, tapi memperbaiki secara terus menerus. Perbaikan secara terus menerus hanya dapat dicapai apabila organisasi melibatkan mereka yang langsung terkait dalam proses bisnis internal.

Faktor Pendorong yang Spesifik dari Pembelajaran dan Pertumbuhan
            Apabila suatu organisasi telah memilaih ukuran untuk kelompok pengukuran inti (core employee measurement group) yang terdiri dar kepuasan pegawai, kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai. Perusahaan tersebut harus mengidentifikasi pendorong/syarat yang spesifik di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Pendorong/syarat tersebut menurut Kaplan dan Norton (1996), terdiri atas tiga komponen, yaitu: (1) Meningkatkan kebali keahlian satuan kerja (Reskilling the work force); (2) Kemampuan sistem dan teknologi informasi (Information Systems Capabilities); (3) Motivasi, pembagian wewenang dan Penyetaraan (Motivation, empowerment, and alignment)

Simpulan
            Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan , yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya organisasi akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi keuangan.
            Akhirnya, kemampuan untukmemenuhi target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan pertumbuhan. Mereka yang memungkinkan belajar dan pertumbuhan khususnya berasal dari 3 sumber, yaitu pegawai, sistem dan Penyetaraan organisasi. Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi. Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai, kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil ke dalam pegawai, sistem dan Penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini sekarang agak generik dan kurang berkembang daripada ketiga perspektif Balance Scorecard lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mirza, Teuku. 1997. Balance Scorecard. Usahawan. Jakarta.
Kaplan. Robert S dan David Norton. 1996. Balanced Scorecard: Transalting Startegi Info Action Bostom: Harvard Business School.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. 2004. Strategy maps: Converting intangible assets into tangible outcomes. Boston: Harvard Business School Press.
Mun`im Azka. 2001. Balance Scorecard Sebagai Alat ukur Kinerja. Azka Press.
Wijaya, Tunggal, Amin. 2002. Mamahami Konsep Balance Scorecard. Cetakan ke 2: Harvindo
Gaspersz, Vincent. 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six Sigma. Gramedia: Jakarta.  
Amin Widjaja T. 2002. Memahami Balanced Scorecard. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Sony Yuwono, et.al; 2003. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard. PT. Gramedia Pustaka: Jakarta.