Sabtu, 05 Oktober 2013



INOVASI KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) 
DALAM MEMBANGUN KEPRIBADIAN


Agus Zaenul Fitri

Abstract:
Early childhood education is very important today. It is not solely be seen by the school to send their children getting knowledge. But the children are given space to grow and develop properly. If the children get a complete and comprehensive education they will be an important human who become useful in society, nation and religion. Education should make child health in physics, mental, emotional, intellectual, social, and spiritual. Education should be done early in family, school and community.  Education must include three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor which is not only to accompany a sensitivity and intelligence of student but also to know God almighty.

Kata Kunci: Inovasi, Kurikulum, Pendidikan Anak Usia Dini.

Pendahuluan
Anak adalah investasi bagi masa depan bangsa. Keberadaan dan eksistensinya memiliki hubungan yang erat dengan masa depan suatu generasi. Dia dianggap sebagai para penentu arah dari orientasi pembangunan suatu bangsa. Anak dalam posisi ini merupakan investasi masa depan  yang kehadirannya tak dapat dipandang sebelah mata. Kegagalan dalam mensikapi persoalan anak akan berdampak pada kegagalan dalam menyusun kesinambungan sebuah generasi tangguh yang diharapkan. Oleh karena itu, kemudian muncul berbagai inisiatif mengembangkan pendidikan yang dipersiapkan untuk memberikan stimulasi bagi pertumbuhan segala aspek pertumbuhan dari anak sejak dini usia.
Pendidikan yang berkait dengan treatment anak yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan anak kemudian dikenal dengan sebutan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),  dalam terminologi barat diistilahkan pre-chilhood education.[1]
Usia dini (0-6 tahun) merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia itu sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen diri anak. Pada usia ini juga strategis, karena tahap di mana perkembangan variabel kecerdasan mencapai 50 persen dan anak mampu menyerap informasi yang sangat tinggi.[2] Karena itu pendidikan usia dini, prasekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh diabaikan atau dianggap sepele. Bahkan pendidikan seorang anak sebaiknya sudah dilakukan sejak anak itu masih berada dalam kandungan.[3] Informasi tentang potensi yang dimiliki anak usia dini, sudah banyak diketengahkan di berbagai penelitian dan juga dipublikasikan melalui media massa dan media elektronik lainnya.[4] Bahkan sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi. Namun demikian, sebagian besar orang tua dan guru tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak pada usia itu. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang tua dan guru, menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak memperoleh perhatian memadai.
   Kecenderungan ini, nampak dari beberapa temuan, dimana angka partisipasi PAUD di Indonesia masih dianggap rendah, di bawah 20. Padahal di negara dengan penghasilan rendah lain telah mencapai angka 24. Di tingkat negara-negara ASEANpun, Indonesia juga masih di bawah. Vietnam misalnya 43, Filipina 27, Thailand 86, serta Malaysia 89. Menurut Direktur PAUD Gautama (2006), di Indonesia tahun 2005 tercatat ada 28 juta anak usia 0-6 tahun. Jumlah anak usia dini  yakni 2-4 tahun mencapai 11,8 juta. Dari jumlah tersebut, yang ikut PAUD baru sekitar 10,10 juta. Padahal, PAUD tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena usia tersebut merupakan "masa emas" (golden age) di mana perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya pendidikan yang dapat merangsang secara memadai pada masa itu.
Menurut data dari Direktorat PAUD, Ditjen PLS, Kementrian Pendidikan Nasional  tahun 2001, dari 26,1 juta anak yang ada di Indonesia,  baru 7,1 juta atau sekitar 28 persen anak yang telah mendapatkan pendidikan. Terdiri atas 9,6 persen terlayani di bina keluarga bawah lima tahun, 6,5 persen di taman kanak-kanak, 1,4 persen Raudhatul Athfal, 0,13 persen di kelompok bermain, 0,05 persen di tempat penitipan anak lainnya, dan sejumlah 9,9 persen terlayani di sekolah dasar.  Ini menunjukkan, pentingnya pendidikan usia dini belum mendapatkan perhatian dengan baik. Data Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2006 menunjukkan terdapat  28.364.300 anak usia PAUD, tetapi  baru 13.223.812 siswa yang terlayani. Pada tahun yang sama, anak usia 4-6 tahun terdapat sejumlah 11.359.805 anak. Namun,  hanya 3.723.924 anak yang dapat sekolah di TK atau 32,78 persen yang menikmati TK. Dari sisi kelembagaan terdapat sejumlah lembaga 54.742 buah, tetapi dari jumlah itu hanya 1.3 persen atau 708 TK milik Pemerintah. Lebihnya 54.034 (98,7 persen) milik swasta. Data dari Kementerian Agama tahun 2008 terdapat lembaga berjumlah 118.981 buah dengan  murid  mencapai 2.1 juta  siswa. Lembaga ini dikelola oleh swasta.
Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang unik. Anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), daya pikir, daya cipta, bahasa dan komunikasi, yang tercakup dalam kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) atau kecerdasan agama atau religius (RQ). Tentu, sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya (toward the complete man) istilah yang digunakan Faure sebagai bentuk  character building.[5] Hal itu meliputi pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi yang utuh, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam kontek Islam disini pentingnya melakukan pendidikan sejak dini. Anak sejak usia dini mulai diajarkan untuk mencintai Nabi Muhammad, ahlul bait dan cinta membaca Al-quran.  Rasulullah S.A.W juga bersabda, ”Didiklah anak-anakmu karena sesungguhnya ia diciptakan pada masa yang berbeda dengan masa kamu”. (HR. Muslim)
Makna pendidikan bagi anak usia dini yang demikian penting, tidaklah semata-mata dilihat dengan dapat menyekolahkan anak di sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan. Namun lebih luas dari itu, anak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Anak jika memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif) akan menjadi bahan penting kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama. Anak seperti itu adalah sehat dalam arti luas, yakni sehat fisik, mental emosional, mental intelektual, mental sosial, dan mental spiritual. Pendidikan hendaklah dilakukan sejak dini yang dapat dilakukan di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam pendidikan haruslah meliputi tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotor yang disertai kepekaan dan kecerdasan hati mengenal penciptaNya.           

Inovasi Kurikulum
Inovasi merupakan sesuatu yang baru dalam situasi sosial tertentu yang digunakan untuk menjawab atau memecahkan suatu permasalahaan. Dillihat dari bentuk atau wujudnya “sesuatu yang baru” itu dapat berupa ide, gagasan, benda atau mungkin tindakan. Sedangkan dilihat dari maknanya, sesuatu yang baru itu bisa benar-benar baru yang belum tercipta sebelumnya yang kemudian disebut dengan invention (temuan baru), atau dapat  juga tidak benar-benar baru sebab sebelumnya sudah ada dalam konteks sosial yang lain yang kemudian disebut dengan istilah discovery (penemuan).
Proses untuk mengahasilkan temuan baru (invention) tidaklah mudah, karena membutuhkan proses seperti penelitian, pengujian dan analisis secara mendalam serta penarikan kesimpulan. Misalnya penerapan pembelajaran PAUD dengan metode dan strategi yang benar-benar baru demi meningkatkan efektivitas pembelajaran. Seperti: penggunaan media dan sumber belajar berbasis lingkungan di sekolah. Aspek lain juga yang bisa gunakan adalah pembelajaran berbasis Tablet yang telah digunakan di beberapa negara. Jadi dengan demikian inovasi itu dapat terjadi melalui proses invention atau melalui proses discovery.[6]
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka inovasi kurikulum dapat diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau tindakan-tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Dalam bidang pendidikan, inovasi biasanya muncul dari adanya keresahan pihak-pihak tertentu tentang penyelenggaraan pendidikan. Misalkan, keresahan guru tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dianggapnya kurang berhasil, keresahan pihak administrator pendidikan tentang kinerja guru, atau mungkin keresahan masyarakat terhadap kinerja dan hasil bahkan sistem pendidikan. Keresahan-keresahan itu pada akhirnya membentuk permasalahan-permasalahan yang menuntut penanganan dengan  segera. Upaya untuk memecahkan masalah itulah muncul gagasan dan ide-ide baru sebagai inovasi. Dengan demikian, maka dapat kita katakan bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah yang dirasakan; hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah yang dirasakan. 
Inovasi kurikulum dan pembelajaran dimaksudkan sebagai suatu idea, gagasan atau tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang diangap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik,  pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal.


Masalah yang Melatarbelakangi munculnya Inovasi Kurikulum.
Setelah diberlakukannya otonomi daerah sebagi konsekuensi penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan dicabut dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, termasuk di dalamnya otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan diberikannya “kewenangan dan pemberdayaan” yang membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan termasuk kurikulum.
Sekalipun demikian maka permasalahan itu tampaknya akan tetap ada, bahkan akan semakin kompleks. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik,  pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal.
Munculnya inovasi beragam, menurut Hamalik disebabkan oleh: (1) adanya inovasi yang dikembangkan untuk menjawab permasalahan relevansi seperti program muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah lanjutan, (2) adanya inovasi yang diarahkan untuk menjawab tantangan pemerataan pendidikan seperti Universitas terbuka, SMP/SMA Terbuka dan Program Paket “B” atau “C” pada pendidikan luar sekolah, (3) Inovasi yang lebih dititikberatkan pada upaya menanggulangi permasalahan kurang memadainya mutu lulusan, sistem Modul, dan (4) Inovasi yang berkaitan pada misi utamanya adalah menjawab permasalahan efesiensi pendidikan seperti sistem maju berkelanjutan dan sistem sekolah kecil.

Pendidikan Anak Usia Dini.
John Dewey menjelaskan bahwa pendidikan pada anak usia dini merupakan bentuk asuhan yang membekali anak pengalaman berharga yang diartikan sebagai social continuity of life.[7] PAUD merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dengan demikian pendidikan bagi anak dini dimaknai dalam arti luas,  adalah meliputi perbuatan atau usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Karenanya pendidikan bagi Dewey  bersifat kontinyu, merupakan reorganisasi, rekontruksi dan pengubahan pengalaman hidup. Education is growth, development, and  life.[8]
   Anak usia dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun  berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang paling menentukan untuk tahap perkembangan berikutnya. Pada usia anak ini terjadi koordinasi motorik halus dan kasar, intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
   Masa usia ini juga terjadi perkembangan mental intelektual (aspek kecerdasan) dan mental emosional (aspek kesehatan jiwa). Perkembangan ini akan banyak menentukan sejauhmana perkembangan susunan saraf pusat (otak) dan kondisi fisik dan organ tubuh lainnya. Karenanya, dalam membantu tumbuh kembang anak agar dapat membantu pertumbuhan fisik yang sehat, memerlukan gizi makanan yang baik dan bermutu. Pertumbuhan otak juga sedang pesat. Bahan baku utama pertumbuhan otak ini adalah gizi dan protein. Sedangkan pertumbuhan kejiwaan (mental intelektual dan mental emosional) yakni IQ dan EQ, amat dipengaruhi oleh sikap, cara hidup, kepribadian dan kebiasaan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam masa ini, faktor sosial budayapun dipandang  penting bagi tumbuh kembang anak dalam proses pembentukan kepribadian dan karakter kelak dikemudian hari.
   Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan iptek telah mengakibatkan perubahan-perubanhan pada nilai-nilai kehidupan sosial dan budaya. Pendidikan yang bermuatan agama, yang mengandung nilai-nilai moral, etik, sebagai pedoman hidup  universal dan abadi sifatnya menjadi penting.

Anak adalah amanah Tuhan bagi orang tuanya. Al-Qur’an banyak menyebut anak sebagai ujian, sebagai amanah yang harus didik. Al-Qur’an juga menyerukan pada manusia untuk menjaga keluarganya.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)
”Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu Kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (Al- Anfal: 26)

Keluarga menjadi jaminan bagi tumbuh kembang anak agar sehat fisik, mental, sosial dan religius. Sehingga menjadi pondasi yang kuat dalam menghadapi era globalisasi. Di rumah orang tua,  adalah tempat bagi terwujudnya keluarga yang sehat dan bahagia (happy and healthy atau keluarga sakinah). Nabi juga bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim). Dengan kata lain lingkungan yang diciptakan orang tua, kebiasaan hidup dan tabiat orang tua akan menjadi orientasi kecenderungan tumbuh kembang anak.
   Pendidikan anak usia dini memiliki karakter sendiri yang berbeda dengan sekolah dewasa sehingga perlu dikelola secara tepat. Kegagalan memahami masalah ini akan berakibat fatal. Rousseau  mengatakan bahwa “God makes all things good, man maddles with them and they become Evil”.[9] Jika tak dikelola dengan tepat kurikulum anak usia dini berpotensi menyimpang dari kelayakan (pertumbuhan, psikologi, institusi, orientasi pengajaran saja). Penelitian juga menegaskan, bahwa 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 30 persen berikutnya pada usia 8 tahun, dan sisanya ketika usia anak mencapai sekitar 18 tahun.
   Otak hanya mau menerima rangsangan spesifik pada waktu tertentu, ini artinya bahwa masa anak itu menjadi jendela kesadaran (mengingat, masa peka). Pada usia dini perkembangan fisik, motorik, intelektual, maupun sosial anak terjadi sangat pesat, sehingga para ahli menyimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini akan menentukan masa depan seorang anak.[10]
   Masyarakat dunia menyadari akan pentingnya dan kebutuhan PAUD. Ini terlihat dari komitmen Jomtien Thailand (1990) tentang “education for all”, maka pendidikan menjadi hak untuk semua orang, sejak lahir sampai  menjelang ajal.  Kemudian dilanjutkan dengan deklarasi Dakar tahun 2000, mengajukan perlunya memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan  pendidikan anak usia dini secara komprehensif. Terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. Dukungan lain terlihat dalam deklarasi “a world fit for children” di New York  pada tahun 2002 yang merekomendasikan promosi hidup sehat; penyediaan pendidikan yang berkualitas; perlindungan terhadap perlakuan salah/aniaya, eksploitasi, dan  kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Dengan demikian, maka pendidikan pada anak usia dini tidak bisa diabaikan dan perlu menjadi perhatian dari semua masyarakat.

Membangun Karakter Anak Sejak Dini.
Kehidupan semakin melenceng dari peradaban luhur manusia. Manusia semakin terombang-ambing dalam ketidak pastian. Tanda-tanda datangnya chaos dan gejala kompleksitas menjadi fenomena mutakhir saat ini. Setiap hari  masyarakat disuguhi tindakan amoral anak-anak dan remaja yang menjadi tontonan di jalan dan menu di berbagai berita media. Silih berganti televisi dan surat kabar memberitakan pemerkosaan yang korban maupun pelakunya siswa sekolah. Penangkapan kejahatan produksi dan penyalahgunaan mirasantika di kalangan remaja dan anak. Tawuran antar sekolah, vandalisme, pengeroyokan, sek bebas dan pornografi artis, dan pencurian, korupsi, moral bejat dan berbagai bentuk patologi sosial dan penyakit masyarakat menambah kompleksitas masalah kehidupan. Hedonisme, rasionalisme membabi buta dan konsumerisme nyaris merontokkan sendi-sendi kehidupan. Inilah zaman kepalsuan yang menggiring manusia kehilangan jati diri yang disebut Fromm  sebagai crisis of identity.[11] Manusia makin kehilangan orientasi hidup, kesejahteraan bathin yang menggiring pada psychological restlesness. Memasuki abad informasi dan revolusi bidang informasi, menyebabkan shock culture akibat ketidak seimbangan, kesenjangan dan disparitas yang jauh antara dunia ideal dan realitas yang dihadapi. Akibatnya jelas munculnya  ontological insecurity.[12] Ini petaka kemanusiaan yang menjadi ciri abad chaos dan kompleksitas masalah kehidupan.
Kondisi di atas tentu saja mencemaskan berbagai pihak, terutama apabila menilik pendapat Lickona,[13] bahwa terdapat sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningginya kekerasan di kalangan remaja; ke­tidakjujuran yang membudaya; semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru. dan figur pemimpin; pengaruh peer group ter­hadap tindakan kekerasan; meningkatnya kecurigaan dan kebencian; penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menu­runnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; meningginya perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral.
 Para pemerhati dan pelaku pendidikan anak beberapa dasawarsa terakhir ini mulai konsen atas masalah moral, akhlak, dan karakter. Orang mulai melihat kontribusi pendidikan karakter Lickona. Thomas Lickona dikenal sebagai seorang ahli psikologi yang menekuni pendidikan karakter. Karya-karya awalnya meliputi Moral Development and Behavior (1976), Raising Good Children (1983), dan Educating for Character (1992), yang kemudian disusul dengan Character Matters—How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (2004), dan Smart and Good High Schools: Developing Excellence and Ethics for Success in School, Work, and Beyond (2005). Lickona menjadi inspirasi pendidikan holistik berbasis karakter dan mengatakan bahwa:
“I believe character education is the deliberate effort to cultivate virtue - that is, objectively good human qualities that are good for the individual person and good for the whole society. That doesn't happen accidentally or automatically It happens as a result of great and diligent effort.” [14]
 Ia menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurut Lickona, pendidikan karakter hanya akan berhasil diselenggarakan apabila dimulai dengan pemahaman (pencarian pengetahuan) akan pelbagai jenis karakter yang akan diajarkan kepada seseorang. Setelah itu, dilanjutkan dengan upaya mencintai karakter baik tersebut, dan diakhiri dengan pelaksanaan atau peneladanan atas jenis-jenis karakter baik itu. Ini momentum yang tepat membawa pendidikan karakter bagi penyelesaian jangka panjang masalah kekinian.
Pemerhati dan pelaku pendidikan telah mencoba membenahi sistem pendidikan dan kurikulum kita dengan menawarkan dan melaksanakan) berbasis solusi. Salah satunya adalah pendidikan (berbasis) ka­rakter. Ada beberapa pendidikan karakter yang ditanamkan, antara lain pendidikan karakter dari basis sosial, agama, dan ideologi negara.
Pendidikan karakter sangat ditentukan oleh tegaknya pilar karakter dan metode yang digunakan. Hal ini penting sebab tanpa identifikasi karakter, pendidikan karakter hanya akan menjadi sebuah petualangan tanpa peta, tiada tujuan. Selain itu, tanpa metode yang tepat, pendi­dikan karakter hanya akan menjadi makanan kognisi dan hanya mampu mengisi wilayah kognisi anak didik. Untuk membentuk ma­nusia berkarakter, aspek kognisi harus dikuatkan dengan aspek emosi.
Musfiroh  menulis bahwa pendidikan karakter dinilai berhasil apabila anak telah menun­jukkan habit atau kebiasaan berperilaku baik. Hal ini tentu saja memerlukan waktu, kesempatan, dan tuntunan yang kontinyu. Perilaku berkarakter tersebut akan muncul, berkembang, dan menguat pada diri anak hanya apabila anak mengetahui konsep dan ciri-ciri perilaku berkarakter, merasakan dan memiliki sikap positif terhadap konsep karakter yang baik, serta terbiasa melakukannya.[15] Oleh karena itu, pendidikan karakter harus ditanamkan melalui cara-cara yang logis, rasional, dan demokratis.
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakt­er meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip‑prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interperpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara aktif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang, berusaha melakukan hal yang terbaik.[16]
Karakter menurut Alwisol diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. [17] Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan ak­tivitas individual.
Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berati "to mark' (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang ber­karakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter  apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate use of all di­mensions of school life to foster optimal character development Hal ini berarti, guna mendukung perkembangan karakter peserta didik, se­luruh komponen di sekolah harus dilibatkan, yakni meliputi isi kuri­kulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the pro­cess of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah.
Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya percaya adanya keberadaan moral absolute yang perlu di­ajarkan kepada generasi muda agar paham betul mana yang baik dan benar. Lickona dan Kilpatrick (1992: 34) tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena se­sungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai "the golden rule". Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat, dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter tidak dapat dipisahkan dari identifikasi ka­rakter yang digunakan sebagai pijakan. Karakter tersebut disebut se­bagai karakter dasar. Tanpa karakter dasar, pendidikan karakter tidak akan memiliki tujuan yang pasti. Lickona menyebut karakter dasar sebagai the ten essential virtues yang terdiri dari wisdom, justice, fortitude (tahan banting), self control, love, positive attitude, hard work, integrity, gratiute (secret of happy life), dan humility.
Pendidikan karakter di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan pilar karakter dasar yang dipopulerkan Ratna Megawangi dari Heritage Foundation Indonesia, tersebut adalah: (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, serta (9) toleransi, cinta damai dan persatuan.
Malaysia melalui IIUM Montessori (International Islamic University of Malaysia) mengembangkan Islamic integration values, yang terdiri dari tauhid (oneness God), ihtiram (respect), istiqlaliah (independent), ta’awun (cooperation), nazafah (cleanliness), istiqamah (consistency), dan alaqat ijtima’iyyah (socialization). Hal ini berbeda dengan karakter dasar yang dikembangkan di negara lain, Character Counts USA, terdiri; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), peduli (caring), jujur (fairness), tanggung jawab (responsibility), kewarganegaraan (citizenship), ketulusan (honesty), berani (courage), dan tekun (dilligence). Integritas serta karakter dasar yang dikembangkan oleh Ari Ginanjar melalui ESQ-nya. nampak berbeda pula. Misalnya; jujur, tanggung jawab,  disiplin , visioner,  adil ,  peduli, dan kerja sama.
Tujuan pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung me­miliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif, ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting.[18]
Karakter, menurut Fromm berkembang berdasarkan kebutuhan mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang tahap demi tahap.[19] Karakter membuat se­seorang mampu berfungsi di dunia tanpa harus memikirkan apa yang harus dikerjakan. Karakter manusia berkembang dan dibentuk oleh pengaturan sosial (social arrangements).
Masyarakat membentuk karakter melalui pendidik dan orangtua agar anak bersedia bertingkah laku seperti yang dikehendaki masya­rakat. Karakter yang dibentuk secara sosial meliputi accepting, pre­serving, taking, exchanging, dan biophilous.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan knowing, acting, menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter tidak sebatas pada pengetahuan. Menurut William Kilpatrick, seseorang yang me­miliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak sebatas pengetahuan. Karakter lebih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau per­buatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu mema­hami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Yang termasuk dalam moral knowing adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap, (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif mereka.
Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk ­sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience) percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pe­ngendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).
Moral Action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang me­rupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: (1) Kompetensi (competence); (2) Keinginan (will); dan (3) Kebiasaan (habit).
Berkowitz  menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing).[20] Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Memakai istilah Lickona, komponen ini dalam pendidikan karakter disebut "desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good" (moral knowing), tetapi juga "desiring the good" atau "loving the good" (moral feeling), dan acting the good" (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Menurut Lickona & Lewis,[21] pendidikan karakter harus didasarkan pada sebelas prinsip berikut:
a.      Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
b.      Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
c.      Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
d.     Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik.
f.   Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menan­tang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses.
g.      Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
i.     Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
j.     Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
11.  Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.

Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation bertujuan mem­bentuk manusia secara utuh  yang berkarakter, yaitu mengem­bangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu, juga untuk membentuk manusia yang life long learners (pebelajar sejati).
Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan pendidikan karakter adalah sebagai berikut.
  1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan parfisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry based learning, integrated learning).
  2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif [conducive learning community] sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa an­caman, dan memberikan semangat.
  3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.
  4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
  5. Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip Develop­mentally Appropriate Practices.
  6. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan sekolah harus berkarakteristik aman serta saling percaya, hormat, dan perhatian pada kesejahteraan lainnya.
  7. Model (contoh) perilaku positif. Bagian terpenting dari penetapan lingkungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas adalah teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam interaksinya dengan siswa.
  8. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. sekolah harus menjadi lingkungan yang lebih demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya.
  9. Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian terpenting dari peningkatan perkembangan positif siswa termasuk pengajaran langsung keterampilan sosial-emosional, se­perti mendengarkan ketika orang lain bicara, mengenali dan memenej emosi, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan kon­flik melalui cara lemah lembut yang menghargai kebutuhan (ke­pentingan) masing-masing.
  10. Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, moral manusia.
  11. Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk siswa.
  12. Tak ada anak yang terabaikan. tolak ukur yang sesungguhnya dari kesuksesan sekolah termasuk pendidikan ‘semua’ siswa untuk me­wujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka me­ngembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka.
Pendidikan karakter sangat baik apabila telah dimulai sejak dini, termasuk dalam wilayah formal, informal, dan nonformal. Pendidikan karakter pada usia dini sangat membutuhkan contoh (sebagai mo­delling) dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari (sebagai habit). Dalam wilayah pengetahuan dan emosi, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui cara-cara yang sesuai DAP (Develop­mentally Appropriate Practices), seperti bermain, bercerita, bercakap-cakap, dan pengalaman nyata.

Ciri Perkembangan Anak Pra-sekolah.
Ada lima domain  perkembangan utama anak yang dihubungkan dengan hubungan sesamanya. Secara mudah dikenal dengan istilah SPICE (Social, Physical, Intellectual, Creative, Emotional).  Social mengacu pada perkembangan kemampuan membangun kemitraan, bermain bersama sesama, bekerja sama, berbagi dan kemampuan menciptakan hubungan. Physical berkait pengembangan motor skil, intellectual perkembangan berkait dengan dunia luar yang mengitarinya, creative perkembangan yang berkait hal khusus, semisal bakat; music, seni, menulis membaca, menyanyi dal lainnya. Emotional atau emosi berkait pengembangan kesadaran diri (self awareness development), percaya diri (self confidence), mengadaptasi perasaan dan pemahaman mereka.
Seiring dengan pendapat di atas, secara tak berurutan, Snowman (1993) yang dikutip oleh Patmonodewo, anak usia pra-sekolah memiliki sejumlah ciri yang dapat dilihat dari aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif.[22]
a.      Ciri Fisik
1   (1)  Anak pra-sekolah umumnya sangat aktif. Anak pada usia ini sangat menyukai kegiatan yang dilakukan atas kemauan sendiri. Kegiatan mereka yang dapat diamati adalah seperti; suka berlari, memanjat dan melompat.
2   (2)  Anak membutuhkan istirahat yang cukup. Dengan adanya sifat aktif, maka biasanya setelah melakukan banyak aktivitas anak me-merlukan istirahat walaupun kadangkala kebutuhan untuk ber-istirahat ini tidak disadarinya.
3   (3) Otot-otot besar anak usia prasekolah berkembang dari control jari dan tangan. Dengan demikin anak usia prasekolah belum bisa me-lakukan aktivitas yang rumit seperti mengikat tali sepatu.
4   (4) Sulit memfokuskan pandangan pada objek-objek yang kecil ukurannya sehingga koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna.
5   (5) Walaupun tubuh anak ini lentur, tetapi tengkorak kepala yang me-lindungi otak masih lunak sehingga berbahaya jika terjadi benturan keras.
6    (6) Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan lebih teram-pil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus.
b.      Ciri Sosial
1  (1) Anak pada usia ini memiliki satu atau dua sahabat tetapi sahabat ini cepat berganti. Penyesuaian diri mereka berlangsung secara cepat sehingga mudah bergaul. Umumnya mereka cenderung me-milih teman yang sama jenis kelaminnya, kemudian pemilihan teman berkembang kejenis kelamin yang berbeda.
    (2) Anggota kelompok bermain jumlahnnya kecil dan tidak terorganisir dengan baik. Oleh karena itu kelompok tersebut tidak bertahan lama dan cepat berganti-ganti.
3    (3)    Anak yang lebih kecil usianya seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar usianya.
4    (4)    Pola bermain anak usia prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai dengan kelas sosial dan gender.
5   (5) Perselisihan sering terjadi, tetapi hanya berlangsung sebentar kemudian hubungannya menjadi baik kembali. Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku agresif dan perselisihan.
6   (6) Anak usia prasekolah telah mulai mempunyai kesadaran terhadap perbedaan jenis kelamin dan peran sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Dampak kesadaran ini dapat dilihat dari pilihan ter-hadap alat-alat permainan.
c.       Ciri Emosional
1)  Anak usia prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya secara bebas dan terbuka. Ciri ini dapat dilihat dari sikap marah yang sering ditunjukkannya.
2) Sikap iri hati pada anak usia prasekolah sering terjadi, sehingga mereka berupaya untuk mendapatkan perhatian orang lain secara berebut.
d.      Ciri Kognitif
1)  Anak prasekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Pada umumnya mereka senang berbicara, Khususnya dalam kelompoknya.
2)   Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[23]           
Sebagai individu yang sedang berkembang, anak memiliki sifat suka meniru tanpa mempertimbangkan kemampuan yang ada padanya. Hal ini didorong oleh rasa ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang diminati, yang kadang kala muncul secara spontan. Sikap jujur yang menunjukan kepolosan seorang anak merupakan ciri yang juga dimiliki oleh anak. Kehidupan yang dirasakan anak tanpa beban menyebabkan anak selalu tampil riang, anak dapat bergerak dan beraktifitas. Dalam aktifitas ini, anak cenderung pula menunjukkan sifat akunya, dengan mengakibatkan apa yang dimiliki oleh teman lain. Akhirnya sifat unik menunjukan bahwa anak merupakan sosok individu yang kompleks yang memiliki perbedaan dengan individu lainnya.
Pemahaman guru tentang karakteristik anak akan bermanfaat dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkem-bangan anak. Anak prasekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebagian dari mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang. Berta Shite dan Wittig (1973), menjelaskan cara mengem­bangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak.  Orang tua sering menunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak. Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapat­kan pengalaman dalam banyak hal. Berikan kesempatan dan doronglah anak untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri. Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan keterampilan dalam berbagai tingkah laku. Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya. Kagumilah apa yang dilakukan anak. Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.
Umumnya guru mempunyai kecenderungan memperlakukan anak didiknya sebagai anak yang memiliki kemampuan rata-rata atau sedikit di atas rata-rata. Walaupun pada umumnya kecenderungan dari sikap tersebut dapat diterima, tetapi dalam beberapa hal kurang dapat diterima. Pada kenyataannya ada anak yang menyimpang dari kondisi rata-rata, dan tentunya program pendidikan untuk mereka sebaiknya berbeda dari yang diperuntukkan anak yang rata-rata. Perbedaan yang ada di antara anak-anak adalah dalam budayanya, bahasa, kelas, sosial, dan perbedaan atau kelainan yang ditemukan.
a.      Perbedaan Budaya
Budaya adalah sejumlah sikap dan tingkah laku yang telah di­pelajari dan dimiliki oleh sekelompok orang. Setiap kelompok manusia di dalam suatu masyarakat mempunyai nilai budaya yang khas sifatnya.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan masing­masing suku bangsa memiliki ciri budaya yang dalam beberapa hal berbeda satu sama lain. Walaupun semuanya orang Indonesia, namun antara satu suku bangsa dengan yang lain tetap ada perbedaannya. Guru harus peka terhadap kondisi murid-murid yang mungkin berasal dari budaya yang berbeda, misalnya ada anak Timor yang berada di antara anak Jawa. Anak yang berada dalam budaya yang sama akan mengembangkan keterampilan bersosialisasi dengan lebih baik, sebaiknya bila seseorang berada dalam lingkungan yang berbeda, anak akan lebih balk dalam keterampilan intelektualnya.
b.      Perbedaan Bahasa
Apabila anak berbeda dalam budayanya seringkali antar mereka juga memiliki penguasaan bahasa yang dipergunakan secara berbeda pula. Misalnya ada anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang berbeda, mungkin datang dari daerah atau dari luar negeri. Mungkin seorang anak akan menjadi malu atau terhambat sosialisasinya yang disebabkan kemampuan berbahasa yang berbeda. Guru sebaiknya peka terhadap kondisi tersebut.
c.       Perbedaan Kelas Sosial Ekonomi
Perbedaan kelas sosial ekonomi seringkali mengakibatkan terjadi­nya kegagalan dalam prestasi akademik. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada perbedaan yang berarti dalam tugas intelektual dan akademik antara anak yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung dibanding­kan dengan yang lebih beruntung.  Hunt (1961) yakin bahwa perbedaan tersebut di atas bukan diakibatkan faktor bawaan dan pengaruh lingkungan dapat ­memperbaiki kondisi anak.

Menyeimbangkan Otak Kiri dan Kanan Anak.
Beragam tulisan Silberman,[24]  menyarankan agar para orang tua meningkatkan cara belajar, membaca, dan mengulang. Misalnya, untuk memperkenalkan cara membaca, ibu membantu dengan memberi garis di bawah kata-kata yang penting, meminta anak membaca dengan suara keras dan menjelaskan makna bacaannya. Selain itu, orang tua juga mengenalkan strategi, mengambil keputusan yang rasional, mencetuskan ide selancar mungkin, mindmapping, meningkatkan perbendaharaan kata, berpikir sambil membayangkan, humor, berpkir kritis, dan bermain. Tujuannya menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan, karena struktur otak belahan kiri dan kanan mempunyai tugas yang berbeda. 
Ada tiga bagian otak yaitu; otak reptile, mamalia dan neokortek.
Pertama, otak reptile atau sering disebut otak primitive berada dipangkal otak dan terhubung dengan tulang belakang. Fungsinya mengatur beberapa organ vital tubuh seperti denyut jantung dan pernafasan, selain itu juga berfungsi mengendalikan reflek tubuh pada saat kita merasa tegang, terancam dan waspada.. Pada saat kita merasa terancam, kelelahan, tegang dan jenuh, maka yang dominan berfungsi adalah otak reptile sehingga kita tidak bisa berfikir jernih.
Kedua  adalah otak  mamalia yang memiliki  perbedaan fungsi dengan otak reptile. Otak mamalia memiliki peranan mengatur kebutuhan reproduksi atau keinginan berkeluarga, hubungan sosial dan lain sebagainya. Selain itu, di dalam otak mamalia ini terdapat sistem limbic yang berfungsi seperti sakelar emosi, sistem limbic ini yang mengatur otak mana yang akan yang harus diaktifkan jika kita dalam keadaan terancam, tegang dan lainnya, begitu juga saat kita berada pada emosi gembira, tenang dan rileks. Saat kondisi emosi tegang, sistem limbic akan mengaktifkan fungsi otak reptile sehingga jika dibutuhkan tubuh bisa langsung bergerak reflek untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya saat emosi kita berada pada kondisi tenang, maka sistem limbic ini akan mengaktifkan peranan otak neorkotek sehingga kita bisa berfikir jernih.
Otak neorkoteks ini adalah bagian ke tiga dari tiga bagian otak. Otak neorkotek ini secara anatomi berada paling atas dan paling besar meliputi 80% dari total keseluruhan bagian otak. Peranan utamanya adalah untuk menyimpan data, berfikir dan menganalisa. Otak neorkotek berfungsi baik jika emosi kita berada dalam kondisi tenang, rileks dan gembira.
            Kenapa perlu menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan pada anak anak ? Ini berguna untuk mendorong agar anak bisa membaca lancar dengan pemahaman penuh, menulis secara kreatif, mengeja, mengingat, mendengar, berpikir sekaligus. Semua itu dibutuhkan koordinasi otak kiri dan kanan dengan baik serta terlatih. Tetapi menyeimbangkan otak kiri dan kanan bisa pula melalui kebiasaan. Misalnya dengan menikmati musik dan kesenian, menikmati warna, ruang dan bentuk, menghargai kreativitas dan menghargai kepekaan perasaan.
Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Manusia membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika. Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan ritma, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Anak berusia 0-4 tahun memiliki perkembangan kognitif sebesar 50%, 4-8 tahun sebesar 30% dan 9-17 tahun sebesar 20%. Memang perkembangan otak sebelum usia 1 tahun lebih cepat, tetapi kematangan otak berlangsung sesudah anak lahir. Ini momentum yang tak dapat diabaikan. Karenanya masa lahir sampai empat tahun pertama disebut masa emas (golden age). Pada masa ini 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 30% berikutnya pada usia 8 tahun, dan sisanya ketika usia anak mencapai sekitar 18 tahun.[25]
Otak hanya mau menerima rangsangan spesifik pada waktu tertentu. Ini  jendela kesempatan (ingatan masa peka). Pada usia dini perkembangan fisik, motorik, intelektual, maupun sosial anak terjadi sangat pesat, sehingga para ahli menyimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini akan menentukan masa depan seorang anak.
Pengaruh lingkungan awal pada perkembangan otak akan berdampak lama. Oleh karena itu, anak yang mendapat stimulasi lingkungan yang baik, fungsi otaknya akan berkembang lebih baik. Dari kecil anak diajak dan dibiasakan untuk menggunakan otaknya untuk berfikir, berimajinasi. Cara ini akan dapat meningkatkan fungsi mielinisasi, yaitu mengaktifkan sel otak untuk mereproduksi ingatan dan informasi. Orang yang suka berfikir tak akan mudah kena penyakit pikun. Dari sini anak mulai dapat dibimbing dan dilatih agar terbiasa menggunakan otaknya untuk berfikir dan imajinasi. Athoilah pengarang akhlak Islam, yang terkenal dengan Shohibul Hikam, menjelaskan bahwa: berfikir adalah cahaya hati, jika hilang berfikir dari dari padanya tiadalah kemilaunya (al fikratu syrâjul qalb faidza dzahabat falâ idloata lahu).

G. Penutup
Indonesia  perlu banyak belajar dari bangsa lain yang tinggi angka partisipasi pendidikan warganya. Membutuhkan kampanye terus menerus dan berkesinambungan untuk memacu angka partisipasi pendidikan anak usia dini. Masih  ada 28 juta anak usia 0-6 tahun yang harus dipikirkan. Jumlah anak usia dini yakni 2-4 tahun akan terus melahirkan persoalan tanpa perhatian dari semua pemangku kepentingan. PAUD tidak dapat dipandang sebelah mata, karena usia tersebut merupakan "masa emas" (golden age) di mana perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya untuk meningkatkan pendidikan dan pembelajaran melalui inovasi kurikulum PAUD yang berprinsip pada terbentuknya pribadi yang utuh (insan kamil). Namun demikian, masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi di Indonesia. Pasalnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya pendidikan anak usia dini. Selain itu, PAUD belum menjadi "pendidikan wajib" sebab belum adanya anggaran khusus untuk sektor pendidikan tersebut. Kendala lainnya adalah tenaga pendidik yang belum memenuhi kualifikasi dan belum tersedia serta belum semua daerah punya petugas yang menanganinya dengan baik.
   Untuk itu perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan tersebut. Pemerintah mendorong terselenggaranya sebuah lembaga non-formal. Lembaga PAUD ini merupakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Sifatnya bisa fleksibel baik tempat, waktu dan kurikulumnya. Sasaran utamanya diarahkan pada anak usia 2-4 tahun. Problem yang dihadapi adalah masih minimnya tenaga penggerak dan pendidik yang sesuai dengan amanat undang-undang di Indonesia. Masalahnya masih belum tersedianya pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang memenuhi kualifikasi yang diharapkan S-1 atau D-4, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam PP No 19 Tahun 2005. Pendidik dan tenaga kependidikan PAUD non formal mengandalkan kerelaan masyarakat (tenaga voluntir, bukan PNS). Dan masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki jurusan PAUD, selain itu dukungan pemerintah daerah masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu upaya yang sungguh-sugguh dari semua stakeholder yang ada baik pemerintah maupun masyarakat secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian, Malang, UMM.
Baihaqy , A. 1999. Pendidikan Pra Natal, Bandung, Rosdakarya.
Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, Illionis, University of Missouri, St Louis.
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan Row Publisher.
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan Row Publisher.
Faure, E et all. 1978. Learning To Be World of Education Today and Tomorrow, Paris, UNESCO, Harahap, London.
Fromm, E. 1992. Revolution of  Hope,  Toward a Humanized Technology, New York, London,  Prentice Hall.
John Dewey. 1966. Democracy and Education: An Introduction The Philosophy of Education, New York, Free Press.
Lickona, T. 1992. Educating For Character, How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York, Bantam Book.
Marcon, R.A.  2002. Moving Up Grade: Relationship between Pre School Model and Later School Succes, Disertasi, Nort Carolina, Nort Carolina University.
Musfiroh, T. 2008. Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter, dalam Suwito, Umar, dkk,. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Sukmadinata, Nana, Syaodih. 1999 Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosda Karya.
Toffler, A. 1992. The Third Wave, New York, Harcourt Brace and World.
Whitney, R. 2005. An Evaluation of a Pre School Program for at Risk Four Year Olds in Suffolk Virginia Public School, Disertasi Virginia State University.
Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, Illionis, University of Missouri, St Louis.
Berkowitz dalam Lickona, T. Schaps E. and Lewis C. (2003). CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education, Washington DC., Character Education Partnership.
Patmonodewo, S. 2005. Pendidikan Anak Pra Sekolah, Jakarta, Rieneka Cipta.
Sholehuddin. 1997. Konsep Dasar Pendidikan Pra Sekolah, Bandung, IKIP.
Silberman, M.L. 2006. Active Learning 101 cara Belajar Siswa Aktif, Terjemah dari Active Learning 101 Strategies to Teach any Subject, (Raisul Muttaqin, Penerjemah), Bandung, Nusa Media.
Humprey, S. 2008. A Study of The Influence of Pre School Setting on School Achievement’, Disertasi, Missisipi State University.





[1] Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan Row Publisher. Hlm. 10
[2] Whitney, R. 2005. An Evaluation of a Pre School Program for at Risk Four Year Olds in Suffolk Virginia Public School, Disertasi Virginia State University. Hlm. 27
[3] Baihaqy , A. 1999. Pendidikan Pra Natal, Bandung, Rosdakarya. Hlm. 19
[4] Marcon, R.A.  2002. Moving Up Grade: Relationship between Pre School Model and Later School Succes, Disertasi, Nort Carolina, Nort Carolina University. Hlm. 35

[5] Faure, E et all. 1978. Learning To Be World of Education Today and Tomorrow, Paris, UNESCO, Harahap, London. Hlm. 153
[6] Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada Media Group. Hal. 317
[7] John Dewey. 1966. Democracy and Education: An Introduction The Philosophy of Education, New York, Free Press. Hlm. 43

[8] Nana Syaodih Sukmadinata. 1999 Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosda Karya. Hlm. 41

[9] Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan Row Publisher. Hlm. 15
[10] Whitney, R. 2005. An Evaluation of A Pre School…Hlm. 28

[11] Fromm, E. 1992. Revolution of  Hope,  Toward a Humanized Technology, New York, London,  Prentice Hall. Hlm. 29
[12] Toffler, A. 1992. The Third Wave,  New York, Harcourt Brace and World. Hlm. 58
[13] Lickona, T. 1992. Educating For Character, How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York, Bantam Book. Hlm. 26

[14] Ibid, hlm. 32
[15] Musfiroh, T. 2008. Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter, dalam Suwito, Umar, dkk,. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?, Yogyakarta, Tiara Wacana. Hlm. 46
[16] Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, Illionis, University of Missouri, St Louis. Hlm. 64
[17] Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian, Malang, UMM. Hlm. 18

[18] Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, Illionis, University of Missouri, St Louis. Hlm. 72
[19] Fromm dalam Alwisol. 2006. Psikologi …………..hlm. 38

[20] Berkowitz dalam Lickona, T. Schaps E. and Lewis C. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education, Washington DC., Character Education Partnership. Hlm. 53
[21] Ibid, hlm. 59
[22] Patmonodewo, S. 2005. Pendidikan Anak Pra Sekolah, Jakarta, Rieneka Cipta. Hlm. 24-30.

[23] Sholehuddin 1997. Konsep Dasar Pendidikan Pra Sekolah, Bandung, IKIP. Hlm. 25

[24] Silberman, M.L. 2006. Active Learning 101: Cara Belajar Siswa Aktif, Terjemah dari Active Learning 101 Strategies to Teach any Subject, (Raisul Muttaqin, Penerjemah), Bandung, Nusa Media. Hlm. 45

[25] Humprey, S. 2008. A Study of The Influence of Pre School Setting on School Achievement’, Disertasi, Missisipi State University. Hlm. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar