INOVASI
KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)
DALAM MEMBANGUN KEPRIBADIAN
Agus Zaenul
Fitri
Abstract:
Early childhood education is very important today. It
is not solely be seen by the school to send their children getting knowledge. But the children are
given space to grow and develop properly. If the children get a complete
and comprehensive education they will be an important human who become useful in
society, nation and religion. Education should make child health in physics,
mental, emotional, intellectual, social, and spiritual. Education should be done
early in family, school and community. Education must include
three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor which is not only
to accompany a sensitivity and intelligence of student but also to know God
almighty.
Kata Kunci:
Inovasi,
Kurikulum, Pendidikan Anak Usia Dini.
Pendahuluan
Anak adalah investasi bagi masa depan bangsa. Keberadaan
dan eksistensinya memiliki hubungan yang erat dengan masa depan suatu generasi.
Dia dianggap sebagai para penentu arah dari orientasi pembangunan suatu bangsa.
Anak dalam posisi ini merupakan investasi masa depan yang kehadirannya tak dapat dipandang sebelah
mata. Kegagalan dalam mensikapi persoalan anak akan berdampak pada kegagalan
dalam menyusun kesinambungan sebuah generasi tangguh yang diharapkan. Oleh
karena itu, kemudian muncul berbagai inisiatif mengembangkan pendidikan yang
dipersiapkan untuk memberikan stimulasi bagi pertumbuhan segala aspek
pertumbuhan dari anak sejak dini usia.
Pendidikan yang berkait dengan treatment anak yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan anak
kemudian dikenal dengan sebutan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dalam terminologi barat diistilahkan pre-chilhood education.[1]
Usia
dini (0-6 tahun) merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan
karakter dan kepribadian seorang anak. Usia itu sebagai usia penting bagi
pengembangan intelegensi permanen diri anak. Pada usia ini juga strategis,
karena tahap di mana perkembangan variabel kecerdasan mencapai 50 persen dan
anak mampu menyerap informasi yang sangat tinggi.[2]
Karena itu pendidikan usia dini, prasekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh
diabaikan atau dianggap sepele. Bahkan pendidikan seorang anak sebaiknya sudah
dilakukan sejak anak itu masih berada dalam kandungan.[3]
Informasi tentang potensi yang dimiliki anak usia dini, sudah banyak
diketengahkan di berbagai penelitian dan juga dipublikasikan melalui media
massa dan media elektronik lainnya.[4]
Bahkan sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu
memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi. Namun demikian, sebagian
besar orang tua dan guru tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki
anak-anak pada usia itu. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki
orang tua dan guru, menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak memperoleh
perhatian memadai.
Kecenderungan ini, nampak
dari beberapa temuan, dimana angka partisipasi PAUD di Indonesia masih dianggap
rendah, di bawah 20. Padahal di negara dengan penghasilan rendah lain telah
mencapai angka 24. Di tingkat negara-negara ASEANpun, Indonesia juga masih di
bawah. Vietnam misalnya 43, Filipina 27, Thailand 86, serta Malaysia 89.
Menurut Direktur PAUD Gautama (2006), di Indonesia tahun 2005 tercatat ada 28
juta anak usia 0-6 tahun. Jumlah anak usia dini yakni 2-4 tahun mencapai 11,8 juta. Dari jumlah
tersebut, yang ikut PAUD baru sekitar 10,10 juta. Padahal, PAUD tidak dapat
dipandang sebelah mata. Karena usia tersebut merupakan "masa emas" (golden
age) di mana perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya
pendidikan yang dapat merangsang secara memadai pada masa itu.
Menurut data dari Direktorat PAUD, Ditjen PLS, Kementrian
Pendidikan Nasional tahun 2001,
dari 26,1 juta anak yang ada di Indonesia,
baru 7,1 juta atau sekitar 28 persen anak yang telah mendapatkan
pendidikan. Terdiri atas 9,6 persen terlayani di bina keluarga bawah lima
tahun, 6,5 persen di taman kanak-kanak, 1,4 persen Raudhatul Athfal, 0,13
persen di kelompok bermain, 0,05 persen di tempat penitipan anak lainnya, dan
sejumlah 9,9 persen terlayani di sekolah dasar.
Ini menunjukkan, pentingnya pendidikan usia dini belum mendapatkan
perhatian dengan baik. Data
Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2006 menunjukkan terdapat 28.364.300 anak usia PAUD, tetapi baru 13.223.812 siswa yang terlayani. Pada
tahun yang sama, anak usia 4-6 tahun terdapat sejumlah 11.359.805 anak.
Namun, hanya 3.723.924 anak yang dapat
sekolah di TK atau 32,78 persen yang menikmati TK. Dari sisi kelembagaan
terdapat sejumlah lembaga 54.742 buah, tetapi dari jumlah itu hanya 1.3 persen
atau 708 TK milik Pemerintah. Lebihnya 54.034 (98,7 persen) milik swasta. Data
dari Kementerian Agama tahun 2008 terdapat lembaga berjumlah 118.981 buah
dengan murid mencapai 2.1 juta siswa. Lembaga ini dikelola oleh swasta.
Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan yang unik. Anak memiliki pola pertumbuhan
dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), daya pikir, daya cipta,
bahasa dan komunikasi, yang tercakup dalam kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) atau kecerdasan agama atau
religius (RQ). Tentu, sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan
dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya (toward the complete man) istilah yang
digunakan Faure sebagai bentuk character building.[5]
Hal itu meliputi pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta,
sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan
pribadi yang utuh, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam
kontek Islam disini pentingnya melakukan pendidikan sejak dini. Anak sejak usia
dini mulai diajarkan untuk mencintai Nabi Muhammad, ahlul bait dan cinta
membaca Al-quran. Rasulullah S.A.W juga
bersabda, ”Didiklah anak-anakmu karena
sesungguhnya ia diciptakan pada masa yang berbeda dengan masa kamu”. (HR.
Muslim)
Makna pendidikan bagi anak usia dini yang demikian
penting, tidaklah semata-mata dilihat dengan dapat menyekolahkan anak di
sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan. Namun lebih luas dari itu, anak diberi
ruang untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Anak jika memperoleh pendidikan
yang paripurna (komprehensif) akan menjadi bahan penting kelak menjadi manusia
yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama. Anak seperti itu adalah
sehat dalam arti luas, yakni sehat fisik, mental emosional, mental intelektual,
mental sosial, dan mental spiritual. Pendidikan hendaklah dilakukan sejak dini
yang dapat dilakukan di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam
pendidikan haruslah meliputi tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor yang disertai kepekaan dan kecerdasan hati mengenal penciptaNya.
Inovasi Kurikulum
Inovasi merupakan sesuatu yang baru dalam situasi
sosial tertentu yang digunakan untuk menjawab atau memecahkan suatu
permasalahaan. Dillihat dari bentuk atau wujudnya “sesuatu yang baru” itu dapat
berupa ide, gagasan, benda atau mungkin tindakan. Sedangkan dilihat dari maknanya,
sesuatu yang baru itu bisa benar-benar baru yang belum tercipta sebelumnya yang
kemudian disebut dengan invention (temuan baru), atau dapat juga tidak benar-benar baru sebab sebelumnya
sudah ada dalam konteks sosial yang lain yang kemudian disebut dengan istilah discovery
(penemuan).
Proses untuk
mengahasilkan temuan baru (invention) tidaklah mudah, karena membutuhkan
proses seperti penelitian, pengujian dan analisis secara mendalam serta
penarikan kesimpulan. Misalnya penerapan pembelajaran PAUD dengan metode dan
strategi yang benar-benar baru demi meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Seperti: penggunaan media dan sumber belajar berbasis lingkungan di sekolah.
Aspek lain juga yang bisa gunakan adalah pembelajaran berbasis Tablet yang
telah digunakan di beberapa negara. Jadi dengan demikian inovasi itu dapat
terjadi melalui proses invention atau melalui proses discovery.[6]
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka
inovasi kurikulum dapat diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau
tindakan-tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang
dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Dalam bidang pendidikan, inovasi
biasanya muncul dari adanya keresahan pihak-pihak tertentu tentang
penyelenggaraan pendidikan. Misalkan, keresahan guru tentang pelaksanaan proses
belajar mengajar yang dianggapnya kurang berhasil, keresahan pihak
administrator pendidikan tentang kinerja guru, atau mungkin keresahan masyarakat
terhadap kinerja dan hasil bahkan sistem pendidikan. Keresahan-keresahan itu pada
akhirnya membentuk permasalahan-permasalahan yang menuntut penanganan
dengan segera. Upaya untuk memecahkan
masalah itulah muncul gagasan dan ide-ide baru sebagai inovasi. Dengan
demikian, maka dapat kita katakan bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah
yang dirasakan; hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah yang
dirasakan.
Inovasi kurikulum dan pembelajaran
dimaksudkan sebagai suatu idea, gagasan atau tindakan tertentu dalam bidang
kurikulum dan pembelajaran yang diangap baru untuk memecahkan masalah
pendidikan. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi
antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran
di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu
secara kognitif, afektif, dan psikomotorik,
pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian
efisiensi dari segi internal dan eksternal.
Masalah yang Melatarbelakangi
munculnya Inovasi Kurikulum.
Setelah diberlakukannya otonomi daerah
sebagi konsekuensi penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian
direvisi dan dicabut dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
termasuk di dalamnya otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan diberikannya “kewenangan dan pemberdayaan” yang
membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan termasuk kurikulum.
Sekalipun demikian maka permasalahan itu
tampaknya akan tetap ada, bahkan akan semakin kompleks. Masalah-masalah inovasi
kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan
kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna
lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif,
dan psikomotorik, pemerataan yang
berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi
internal dan eksternal.
Munculnya inovasi beragam, menurut Hamalik disebabkan
oleh: (1) adanya inovasi yang dikembangkan untuk menjawab permasalahan
relevansi seperti program muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar dan
sekolah lanjutan, (2) adanya inovasi yang diarahkan untuk menjawab tantangan
pemerataan pendidikan seperti Universitas terbuka, SMP/SMA Terbuka dan Program
Paket “B” atau “C” pada pendidikan luar sekolah, (3) Inovasi yang
lebih dititikberatkan pada upaya menanggulangi permasalahan kurang memadainya
mutu lulusan, sistem Modul, dan (4) Inovasi yang berkaitan pada misi utamanya
adalah menjawab permasalahan efesiensi pendidikan seperti sistem maju
berkelanjutan dan sistem sekolah kecil.
Pendidikan Anak Usia Dini.
John Dewey menjelaskan bahwa pendidikan pada anak usia
dini merupakan bentuk asuhan yang membekali anak pengalaman berharga yang
diartikan sebagai social continuity of life.[7]
PAUD merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Dengan demikian pendidikan bagi anak dini dimaknai dalam arti
luas, adalah meliputi perbuatan atau
usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai
usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik
jasmaniah maupun rohaniah. Karenanya pendidikan bagi Dewey bersifat kontinyu, merupakan reorganisasi,
rekontruksi dan pengubahan pengalaman hidup. Education is growth, development, and
life.[8]
Anak usia dini
adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola
pertumbuhan dan perkembangan yang paling menentukan untuk tahap perkembangan
berikutnya. Pada usia anak ini terjadi koordinasi motorik halus dan kasar,
intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual),
sosial emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang
khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Masa usia ini
juga terjadi perkembangan mental intelektual (aspek kecerdasan) dan mental
emosional (aspek kesehatan jiwa). Perkembangan ini akan banyak menentukan
sejauhmana perkembangan susunan saraf pusat (otak) dan kondisi fisik dan organ
tubuh lainnya. Karenanya, dalam membantu tumbuh kembang anak agar dapat
membantu pertumbuhan fisik yang sehat, memerlukan gizi makanan yang baik dan
bermutu. Pertumbuhan otak juga sedang pesat. Bahan baku utama pertumbuhan otak
ini adalah gizi dan protein. Sedangkan pertumbuhan kejiwaan (mental intelektual
dan mental emosional) yakni IQ dan EQ, amat dipengaruhi oleh sikap, cara hidup,
kepribadian dan kebiasaan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam masa
ini, faktor sosial budayapun dipandang
penting bagi tumbuh kembang anak dalam proses pembentukan kepribadian
dan karakter kelak dikemudian hari.
Perubahan-perubahan
sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi,
industrialisasi, dan iptek telah mengakibatkan perubahan-perubanhan pada
nilai-nilai kehidupan sosial dan budaya. Pendidikan yang bermuatan agama, yang
mengandung nilai-nilai moral, etik, sebagai pedoman hidup universal dan abadi sifatnya menjadi penting.
Anak adalah amanah Tuhan bagi orang tuanya. Al-Qur’an banyak
menyebut anak sebagai ujian, sebagai amanah yang harus didik. Al-Qur’an juga
menyerukan pada manusia untuk menjaga keluarganya.
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)
”Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu Kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (Al- Anfal: 26)
”Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu Kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (Al- Anfal: 26)
Keluarga menjadi jaminan bagi tumbuh kembang anak agar
sehat fisik, mental, sosial dan religius. Sehingga menjadi pondasi yang kuat
dalam menghadapi era globalisasi. Di rumah orang tua, adalah tempat bagi terwujudnya keluarga yang
sehat dan bahagia (happy and healthy atau keluarga sakinah).
Nabi juga bersabda, “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang akan menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim). Dengan kata lain lingkungan yang
diciptakan orang tua, kebiasaan hidup dan tabiat orang tua akan menjadi
orientasi kecenderungan tumbuh kembang anak.
Pendidikan anak
usia dini memiliki karakter sendiri yang berbeda dengan sekolah dewasa sehingga
perlu dikelola secara tepat. Kegagalan
memahami masalah ini akan berakibat fatal. Rousseau mengatakan bahwa “God makes all things good, man maddles with them and they become Evil”.[9]
Jika tak dikelola dengan tepat kurikulum anak usia dini berpotensi menyimpang
dari kelayakan (pertumbuhan, psikologi, institusi, orientasi pengajaran saja).
Penelitian juga menegaskan, bahwa 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa
sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 30 persen berikutnya pada usia 8
tahun, dan sisanya ketika usia anak mencapai sekitar 18 tahun.
Otak hanya mau menerima rangsangan spesifik
pada waktu tertentu, ini artinya bahwa masa anak itu menjadi jendela kesadaran
(mengingat, masa peka). Pada usia dini perkembangan fisik, motorik,
intelektual, maupun sosial anak terjadi sangat pesat, sehingga para ahli
menyimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini akan menentukan masa depan
seorang anak.[10]
Masyarakat dunia menyadari akan pentingnya dan kebutuhan PAUD. Ini terlihat dari
komitmen Jomtien Thailand (1990) tentang “education
for all”, maka pendidikan menjadi hak untuk semua orang, sejak lahir
sampai menjelang ajal. Kemudian dilanjutkan dengan deklarasi Dakar tahun
2000, mengajukan perlunya memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan
dan pendidikan anak usia dini secara
komprehensif. Terutama bagi anak-anak yang
sangat rawan dan kurang beruntung. Dukungan lain terlihat dalam deklarasi “a world fit for children” di New York pada tahun 2002 yang merekomendasikan promosi
hidup sehat; penyediaan pendidikan yang berkualitas; perlindungan terhadap
perlakuan salah/aniaya, eksploitasi, dan
kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Dengan demikian, maka
pendidikan pada anak usia dini tidak bisa diabaikan dan perlu menjadi perhatian
dari semua masyarakat.
Membangun Karakter Anak Sejak Dini.
Kehidupan semakin melenceng dari peradaban
luhur manusia. Manusia semakin terombang-ambing dalam ketidak pastian.
Tanda-tanda datangnya chaos dan gejala kompleksitas menjadi fenomena
mutakhir saat ini. Setiap hari masyarakat disuguhi
tindakan amoral anak-anak dan remaja yang menjadi tontonan di jalan dan menu di
berbagai berita media. Silih berganti televisi dan surat kabar memberitakan
pemerkosaan yang korban maupun pelakunya siswa sekolah. Penangkapan kejahatan
produksi dan penyalahgunaan mirasantika di kalangan remaja dan anak. Tawuran
antar sekolah, vandalisme, pengeroyokan, sek bebas dan pornografi artis, dan
pencurian, korupsi, moral bejat dan berbagai bentuk patologi sosial dan
penyakit masyarakat menambah kompleksitas masalah kehidupan. Hedonisme,
rasionalisme membabi buta dan konsumerisme nyaris merontokkan sendi-sendi
kehidupan. Inilah zaman kepalsuan yang menggiring manusia kehilangan jati diri
yang disebut Fromm sebagai crisis of
identity.[11]
Manusia makin kehilangan orientasi hidup, kesejahteraan bathin yang menggiring
pada psychological restlesness. Memasuki abad informasi dan revolusi bidang informasi,
menyebabkan shock culture akibat ketidak seimbangan, kesenjangan dan
disparitas yang jauh antara dunia ideal dan realitas yang dihadapi. Akibatnya
jelas munculnya ontological
insecurity.[12]
Ini petaka kemanusiaan yang menjadi ciri abad chaos dan kompleksitas
masalah kehidupan.
Kondisi di atas tentu saja mencemaskan berbagai pihak,
terutama apabila menilik pendapat Lickona,[13]
bahwa terdapat sepuluh tanda perilaku
manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:
meningginya kekerasan di kalangan remaja; ketidakjujuran yang membudaya;
semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru. dan figur pemimpin;
pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan; meningkatnya
kecurigaan dan kebencian; penggunaan bahasa
yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara; meningginya perilaku merusak diri; dan semakin
kaburnya pedoman moral.
Para pemerhati dan pelaku pendidikan anak beberapa
dasawarsa terakhir ini mulai konsen atas masalah moral, akhlak, dan karakter.
Orang mulai melihat kontribusi pendidikan karakter Lickona. Thomas Lickona
dikenal sebagai seorang ahli psikologi yang menekuni pendidikan karakter. Karya-karya awalnya meliputi Moral Development and Behavior
(1976), Raising Good Children (1983), dan Educating for Character
(1992), yang kemudian disusul dengan Character Matters—How to Help Our
Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues
(2004), dan Smart and Good High Schools: Developing Excellence and Ethics
for Success in School, Work, and Beyond (2005). Lickona menjadi inspirasi
pendidikan holistik berbasis karakter dan mengatakan bahwa:
“I
believe character education is the deliberate effort to cultivate virtue - that
is, objectively good human qualities that are good for the individual person
and good for the whole society. That doesn't happen accidentally or
automatically It happens as a result of great and diligent effort.” [14]
Ia menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu
dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurut
Lickona, pendidikan karakter hanya akan berhasil diselenggarakan apabila
dimulai dengan pemahaman (pencarian pengetahuan) akan pelbagai jenis karakter
yang akan diajarkan kepada seseorang. Setelah itu, dilanjutkan dengan upaya
mencintai karakter baik tersebut, dan diakhiri dengan pelaksanaan atau
peneladanan atas jenis-jenis karakter baik itu. Ini momentum yang tepat membawa
pendidikan karakter bagi penyelesaian jangka panjang masalah kekinian.
Pemerhati dan pelaku pendidikan telah mencoba membenahi
sistem pendidikan dan kurikulum kita dengan menawarkan dan melaksanakan) berbasis solusi. Salah satunya adalah
pendidikan (berbasis) karakter. Ada beberapa pendidikan karakter yang
ditanamkan, antara lain pendidikan karakter dari basis sosial, agama, dan
ideologi negara.
Pendidikan karakter sangat ditentukan oleh tegaknya pilar
karakter dan metode yang digunakan. Hal ini penting sebab tanpa identifikasi
karakter, pendidikan karakter hanya akan menjadi sebuah petualangan tanpa peta, tiada tujuan. Selain itu, tanpa metode
yang tepat, pendidikan karakter hanya
akan menjadi makanan kognisi dan hanya mampu
mengisi wilayah kognisi anak didik. Untuk membentuk manusia berkarakter, aspek
kognisi harus dikuatkan dengan aspek emosi.
Musfiroh menulis bahwa pendidikan karakter dinilai
berhasil apabila anak telah menunjukkan
habit atau kebiasaan berperilaku baik. Hal ini tentu saja memerlukan waktu, kesempatan, dan tuntunan yang
kontinyu. Perilaku berkarakter tersebut akan muncul, berkembang, dan menguat
pada diri anak hanya apabila anak mengetahui konsep dan ciri-ciri perilaku berkarakter, merasakan dan memiliki sikap
positif terhadap konsep karakter yang baik, serta terbiasa melakukannya.[15]
Oleh karena itu, pendidikan karakter harus
ditanamkan melalui cara-cara yang logis, rasional, dan demokratis.
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior),
motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap
seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis
dan alasan moral, perilaku seperti jujur
dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip‑prinsip moral dalam
situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interperpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara aktif
dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan
positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika).
Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang, berusaha melakukan hal yang terbaik.[16]
Karakter menurut Alwisol diartikan sebagai
gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai
benar-salah, baik-buruk, baik secara
eksplisit maupun implisit. [17] Karakter berbeda dengan
kepribadian, karena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan
sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan
mengorganisasikan aktivitas individual.
Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang
berati "to mark' (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku. Oleh
sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan
sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur,
suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah
karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang
berkarakter apabila
perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
Pendidikan karakter diartikan sebagai the
deliberate use of all dimensions of school
life to foster optimal character development Hal ini berarti, guna
mendukung perkembangan karakter peserta didik, seluruh komponen di
sekolah harus dilibatkan, yakni meliputi isi kurikulum (the content of the
curriculum), proses pembelajaran (the process of instruction), kualitas
hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the
handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, dan etos
seluruh lingkungan sekolah.
Kilpatrick dan Lickona
merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya percaya adanya keberadaan moral
absolute yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar paham betul mana
yang baik dan benar. Lickona dan Kilpatrick (1992:
34) tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values
clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya
terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut yang bersumber dari
agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai "the golden rule". Contohnya
adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat, dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter tidak
dapat dipisahkan dari identifikasi karakter yang digunakan sebagai pijakan. Karakter tersebut
disebut sebagai karakter dasar. Tanpa karakter dasar, pendidikan karakter
tidak akan memiliki tujuan yang pasti. Lickona menyebut karakter dasar sebagai the
ten essential virtues yang terdiri dari wisdom, justice, fortitude (tahan
banting), self control, love, positive attitude, hard work, integrity, gratiute
(secret of happy life), dan humility.
Pendidikan karakter di Indonesia didasarkan
pada sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar menjadi tujuan pendidikan
karakter. Kesembilan pilar karakter dasar yang dipopulerkan Ratna Megawangi
dari Heritage
Foundation Indonesia,
tersebut adalah: (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, (2)
tanggung jawab, disiplin dan mandiri, (3)
jujur, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama,
(6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati,
serta (9) toleransi, cinta damai dan persatuan.
Malaysia melalui IIUM Montessori (International
Islamic University of Malaysia) mengembangkan Islamic integration values, yang terdiri dari tauhid (oneness
God), ihtiram (respect), istiqlaliah (independent), ta’awun (cooperation),
nazafah (cleanliness), istiqamah (consistency), dan alaqat ijtima’iyyah
(socialization). Hal ini berbeda dengan karakter dasar yang dikembangkan di
negara lain, Character
Counts USA, terdiri; dapat
dipercaya (trustworthiness), rasa hormat
dan perhatian (respect), peduli (caring), jujur (fairness), tanggung jawab (responsibility), kewarganegaraan (citizenship),
ketulusan (honesty), berani (courage), dan tekun (dilligence). Integritas serta karakter dasar yang
dikembangkan oleh Ari Ginanjar melalui ESQ-nya. nampak berbeda pula. Misalnya;
jujur, tanggung jawab, disiplin , visioner, adil ,
peduli, dan kerja sama.
Tujuan pendidikan
karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik,
anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan
komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang
efektif, ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua
peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat
penting.[18]
Karakter, menurut Fromm berkembang berdasarkan
kebutuhan mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang
tahap demi tahap.[19]
Karakter membuat seseorang mampu berfungsi di dunia tanpa harus memikirkan apa
yang harus dikerjakan. Karakter manusia berkembang dan dibentuk oleh pengaturan
sosial (social arrangements).
Masyarakat membentuk
karakter melalui pendidik dan orangtua agar anak bersedia bertingkah laku seperti yang
dikehendaki masyarakat. Karakter yang dibentuk secara sosial meliputi accepting,
preserving, taking, exchanging, dan biophilous.
Karakter dikembangkan melalui tahap
pengetahuan knowing, acting, menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter
tidak sebatas pada pengetahuan.
Menurut William Kilpatrick, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang
kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai pengetahuannya itu kalau ia tidak
terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak sebatas pengetahuan.
Karakter lebih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan
demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan
tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau
perbuatan bermoral. Hal ini
diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan
sekaligus nilai-nilai kebajikan. Yang termasuk dalam moral knowing adalah
kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing
moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian
mengambil menentukan sikap, (decision
making),
dan pengenalan diri (self
knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif
mereka.
Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi
manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap
yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience) percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang
lain (emphaty), cinta
kebenaran (loving the good),
pengendalian diri (self
control), kerendahan
hati (humility).
Moral Action merupakan perbuatan atau
tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong
seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat
tiga aspek lain dari karakter yaitu: (1) Kompetensi (competence);
(2) Keinginan (will);
dan (3) Kebiasaan (habit).
Berkowitz menyatakan bahwa
kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin
bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai
karakter (valuing).[20]
Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut
untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu.
Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan
karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu
sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek
perasaan (domain affection atau emosi). Memakai istilah Lickona,
komponen ini dalam pendidikan karakter
disebut "desiring the good” atau keinginan untuk berbuat
kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good" (moral knowing), tetapi
juga "desiring the good" atau "loving the
good" (moral feeling), dan “acting the good" (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang
terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Menurut Lickona & Lewis,[21]
pendidikan karakter harus didasarkan pada sebelas prinsip berikut:
a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai
basis karakter.
b.
Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya
mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
c.
Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif
untuk membangun karakter.
d.
Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
perilaku yang baik.
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna
dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun
karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses.
g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para
siswa.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas
moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter
dan setia pada nilai dasar yang sama.
i.
Adanya pembagian
kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan
karakter.
j.
Memfungsikan keluarga dan
anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
11. Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan
manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.
Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation bertujuan membentuk manusia secara
utuh yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik,
emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal.
Selain itu, juga untuk membentuk manusia yang life long learners (pebelajar sejati).
Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk
mengembangkan pendidikan karakter adalah
sebagai berikut.
- Menerapkan metode belajar yang melibatkan parfisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang kongkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry based learning, integrated learning).
- Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif [conducive learning community] sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
- Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.
- Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
- Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip Developmentally Appropriate Practices.
- Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan sekolah harus berkarakteristik aman serta saling percaya, hormat, dan perhatian pada kesejahteraan lainnya.
- Model (contoh) perilaku positif. Bagian terpenting dari penetapan lingkungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas adalah teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam interaksinya dengan siswa.
- Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. sekolah harus menjadi lingkungan yang lebih demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya.
- Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian terpenting dari peningkatan perkembangan positif siswa termasuk pengajaran langsung keterampilan sosial-emosional, seperti mendengarkan ketika orang lain bicara, mengenali dan memenej emosi, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik melalui cara lemah lembut yang menghargai kebutuhan (kepentingan) masing-masing.
- Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, moral manusia.
- Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk siswa.
- Tak ada anak yang terabaikan. tolak ukur yang sesungguhnya dari kesuksesan sekolah termasuk pendidikan ‘semua’ siswa untuk mewujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka mengembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka.
Pendidikan karakter sangat baik apabila telah
dimulai sejak dini, termasuk dalam wilayah formal, informal, dan nonformal. Pendidikan karakter pada usia dini sangat membutuhkan contoh (sebagai
modelling) dan
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari (sebagai habit). Dalam wilayah pengetahuan
dan emosi, pendidikan karakter dapat dilakukan
melalui cara-cara yang sesuai DAP (Developmentally Appropriate Practices), seperti bermain, bercerita,
bercakap-cakap, dan pengalaman nyata.
Ciri Perkembangan Anak Pra-sekolah.
Ada lima domain perkembangan utama anak yang dihubungkan
dengan hubungan sesamanya. Secara
mudah dikenal dengan istilah SPICE (Social,
Physical, Intellectual, Creative, Emotional). Social
mengacu pada perkembangan kemampuan membangun kemitraan, bermain bersama
sesama, bekerja sama, berbagi dan kemampuan menciptakan hubungan. Physical berkait pengembangan motor
skil, intellectual perkembangan
berkait dengan dunia luar yang mengitarinya, creative perkembangan yang berkait hal khusus, semisal bakat;
music, seni, menulis membaca, menyanyi dal lainnya. Emotional atau emosi
berkait pengembangan kesadaran diri (self
awareness development), percaya diri (self
confidence), mengadaptasi perasaan dan pemahaman mereka.
Seiring dengan pendapat di atas, secara tak berurutan, Snowman (1993)
yang dikutip oleh Patmonodewo, anak usia pra-sekolah memiliki sejumlah ciri
yang dapat dilihat dari aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif.[22]
a. Ciri Fisik
1 (1) Anak pra-sekolah umumnya sangat aktif. Anak pada usia ini sangat menyukai kegiatan
yang dilakukan atas kemauan sendiri. Kegiatan mereka yang dapat diamati adalah seperti; suka
berlari, memanjat dan melompat.
2 (2) Anak membutuhkan istirahat yang cukup. Dengan adanya sifat aktif, maka biasanya setelah
melakukan banyak aktivitas anak me-merlukan istirahat walaupun kadangkala
kebutuhan untuk ber-istirahat ini tidak disadarinya.
3 (3) Otot-otot besar anak usia prasekolah berkembang dari control jari dan
tangan. Dengan demikin anak usia prasekolah belum bisa me-lakukan aktivitas
yang rumit seperti mengikat tali sepatu.
4 (4) Sulit memfokuskan pandangan pada objek-objek yang kecil ukurannya sehingga
koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna.
5 (5) Walaupun tubuh anak ini lentur, tetapi tengkorak kepala yang me-lindungi
otak masih lunak sehingga berbahaya jika terjadi benturan keras.
6 (6) Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan lebih teram-pil dalam
tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus.
b. Ciri Sosial
1 (1) Anak pada usia ini memiliki satu atau dua sahabat tetapi sahabat ini cepat
berganti. Penyesuaian diri mereka berlangsung secara cepat sehingga mudah
bergaul. Umumnya mereka cenderung me-milih teman yang sama jenis kelaminnya,
kemudian pemilihan teman berkembang kejenis kelamin yang berbeda.
(2) Anggota kelompok bermain jumlahnnya kecil dan tidak terorganisir dengan
baik. Oleh karena itu kelompok tersebut tidak bertahan lama dan cepat
berganti-ganti.
3 (3) Anak yang lebih kecil usianya seringkali bermain bersebelahan dengan anak
yang lebih besar usianya.
4 (4) Pola bermain anak usia prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai dengan
kelas sosial dan gender.
5 (5) Perselisihan sering terjadi, tetapi hanya berlangsung sebentar kemudian
hubungannya menjadi baik kembali. Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah
laku agresif dan perselisihan.
6 (6) Anak usia prasekolah telah mulai mempunyai kesadaran terhadap perbedaan
jenis kelamin dan peran sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Dampak kesadaran
ini dapat dilihat dari pilihan ter-hadap alat-alat permainan.
c. Ciri Emosional
1) Anak usia prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya secara bebas dan
terbuka. Ciri ini dapat dilihat dari sikap marah yang sering ditunjukkannya.
2) Sikap iri hati pada anak usia prasekolah sering terjadi, sehingga mereka
berupaya untuk mendapatkan perhatian orang lain secara berebut.
d. Ciri Kognitif
1) Anak prasekolah umumnya telah terampil dalam
berbahasa. Pada umumnya mereka senang berbicara, Khususnya dalam kelompoknya.
2)
Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui
interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[23]
Sebagai individu yang sedang berkembang, anak
memiliki sifat suka meniru tanpa mempertimbangkan kemampuan yang ada padanya.
Hal ini didorong oleh rasa ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang diminati,
yang kadang kala muncul secara spontan. Sikap jujur yang menunjukan kepolosan
seorang anak merupakan ciri yang juga dimiliki oleh anak. Kehidupan yang
dirasakan anak tanpa beban menyebabkan anak selalu tampil riang, anak dapat
bergerak dan beraktifitas. Dalam aktifitas ini, anak cenderung pula menunjukkan
sifat akunya, dengan mengakibatkan apa yang dimiliki oleh teman lain. Akhirnya
sifat unik menunjukan bahwa anak merupakan sosok individu yang kompleks yang
memiliki perbedaan dengan individu lainnya.
Pemahaman guru tentang karakteristik anak akan
bermanfaat dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung
perkem-bangan anak. Anak prasekolah umumnya
telah terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari mereka senang
bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk
berbicara. Sebagian dari mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang
baik.
Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi,
minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang. Berta Shite dan Wittig (1973),
menjelaskan cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten
dengan cara interaksi
sesering mungkin dan bervariasi dengan anak. Orang tua sering menunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak. Berikan
kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan pengalaman dalam
banyak hal. Berikan kesempatan dan doronglah anak untuk melakukan berbagai
kegiatan secara mandiri. Doronglah anak agar
mau mencoba mendapatkan keterampilan dalam berbagai tingkah laku.
Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya. Kagumilah apa yang
dilakukan anak. Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak,
lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.
Umumnya guru mempunyai
kecenderungan memperlakukan anak didiknya sebagai anak yang memiliki
kemampuan rata-rata atau sedikit di atas rata-rata. Walaupun pada umumnya kecenderungan
dari sikap tersebut dapat diterima, tetapi
dalam beberapa hal kurang dapat diterima. Pada kenyataannya ada anak
yang menyimpang dari kondisi rata-rata, dan
tentunya program pendidikan untuk mereka sebaiknya berbeda dari yang
diperuntukkan anak yang rata-rata. Perbedaan yang ada di antara anak-anak adalah dalam budayanya, bahasa, kelas,
sosial, dan perbedaan atau kelainan yang ditemukan.
a. Perbedaan Budaya
Budaya adalah sejumlah sikap dan tingkah laku yang telah
dipelajari dan dimiliki oleh sekelompok
orang. Setiap kelompok manusia di dalam suatu masyarakat mempunyai nilai budaya
yang khas sifatnya.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan
masingmasing suku bangsa memiliki ciri budaya yang dalam beberapa hal berbeda
satu sama lain. Walaupun semuanya orang Indonesia, namun antara satu suku bangsa dengan yang lain tetap ada
perbedaannya. Guru harus peka terhadap kondisi murid-murid yang mungkin
berasal dari budaya yang berbeda, misalnya ada anak Timor yang berada di antara
anak Jawa. Anak yang berada dalam budaya yang sama akan mengembangkan keterampilan bersosialisasi dengan lebih baik, sebaiknya bila
seseorang berada dalam lingkungan yang berbeda, anak akan lebih balk dalam
keterampilan intelektualnya.
b. Perbedaan Bahasa
Apabila anak berbeda dalam budayanya seringkali antar
mereka juga memiliki penguasaan bahasa yang
dipergunakan secara berbeda pula. Misalnya
ada anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang berbeda, mungkin
datang dari daerah atau dari luar negeri. Mungkin seorang anak akan menjadi
malu atau terhambat sosialisasinya yang disebabkan kemampuan berbahasa yang
berbeda. Guru sebaiknya peka terhadap kondisi tersebut.
c. Perbedaan Kelas Sosial Ekonomi
Perbedaan kelas sosial ekonomi
seringkali mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam prestasi
akademik. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada perbedaan yang
berarti dalam tugas intelektual dan akademik antara anak yang berasal dari
keluarga yang kurang beruntung dibandingkan dengan yang lebih beruntung. Hunt (1961) yakin bahwa
perbedaan tersebut di atas bukan diakibatkan faktor bawaan dan pengaruh
lingkungan dapat memperbaiki kondisi anak.
Menyeimbangkan Otak Kiri dan Kanan Anak.
Beragam tulisan Silberman,[24] menyarankan agar para orang tua meningkatkan
cara belajar, membaca, dan mengulang. Misalnya, untuk memperkenalkan cara
membaca, ibu membantu dengan memberi garis di bawah kata-kata yang penting,
meminta anak membaca dengan suara keras dan menjelaskan makna bacaannya. Selain
itu, orang tua juga mengenalkan strategi, mengambil keputusan yang rasional,
mencetuskan ide selancar mungkin, mindmapping, meningkatkan
perbendaharaan kata, berpikir sambil membayangkan, humor, berpkir kritis, dan
bermain. Tujuannya menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan, karena struktur
otak belahan kiri dan kanan mempunyai tugas yang berbeda.
Ada tiga bagian otak yaitu; otak reptile, mamalia
dan neokortek.
Pertama, otak reptile atau sering disebut otak primitive berada dipangkal otak dan terhubung dengan tulang belakang. Fungsinya mengatur beberapa organ vital tubuh seperti denyut jantung dan pernafasan, selain itu juga berfungsi mengendalikan reflek tubuh pada saat kita merasa tegang, terancam dan waspada.. Pada saat kita merasa terancam, kelelahan, tegang dan jenuh, maka yang dominan berfungsi adalah otak reptile sehingga kita tidak bisa berfikir jernih.
Pertama, otak reptile atau sering disebut otak primitive berada dipangkal otak dan terhubung dengan tulang belakang. Fungsinya mengatur beberapa organ vital tubuh seperti denyut jantung dan pernafasan, selain itu juga berfungsi mengendalikan reflek tubuh pada saat kita merasa tegang, terancam dan waspada.. Pada saat kita merasa terancam, kelelahan, tegang dan jenuh, maka yang dominan berfungsi adalah otak reptile sehingga kita tidak bisa berfikir jernih.
Kedua adalah
otak mamalia yang memiliki perbedaan fungsi dengan otak reptile. Otak
mamalia memiliki peranan mengatur kebutuhan reproduksi atau keinginan
berkeluarga, hubungan sosial dan lain sebagainya. Selain itu, di dalam otak
mamalia ini terdapat sistem limbic yang berfungsi seperti sakelar emosi,
sistem limbic ini yang mengatur otak mana yang akan yang harus diaktifkan jika
kita dalam keadaan terancam, tegang dan lainnya, begitu juga saat kita berada
pada emosi gembira, tenang dan rileks. Saat kondisi emosi tegang, sistem limbic
akan mengaktifkan fungsi otak reptile sehingga jika dibutuhkan tubuh bisa
langsung bergerak reflek untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya saat emosi kita
berada pada kondisi tenang, maka sistem limbic ini akan mengaktifkan peranan
otak neorkotek sehingga kita bisa berfikir jernih.
Otak neorkoteks ini adalah bagian ke tiga dari tiga
bagian otak. Otak neorkotek ini secara anatomi berada paling atas dan paling
besar meliputi 80% dari total keseluruhan bagian otak. Peranan utamanya adalah
untuk menyimpan data, berfikir dan menganalisa. Otak neorkotek berfungsi baik
jika emosi kita berada dalam kondisi tenang, rileks dan gembira.
Otak kiri memiliki karakteristik yang
teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur
lainnya. Manusia membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika. Adapun
karakteristik otak kanan berhubungan dengan ritma, irama, musik, gambar, dan
imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Anak berusia 0-4 tahun memiliki perkembangan kognitif sebesar 50%,
4-8 tahun sebesar 30% dan 9-17 tahun sebesar 20%. Memang perkembangan otak
sebelum usia 1 tahun lebih cepat, tetapi kematangan otak berlangsung sesudah
anak lahir. Ini momentum yang tak dapat diabaikan. Karenanya masa lahir sampai
empat tahun pertama disebut masa emas (golden age). Pada masa ini 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun,
30% berikutnya pada usia 8 tahun, dan sisanya ketika usia anak mencapai sekitar
18 tahun.[25]
Otak hanya mau menerima rangsangan spesifik
pada waktu tertentu. Ini jendela
kesempatan (ingatan masa peka). Pada usia dini perkembangan fisik, motorik,
intelektual, maupun sosial anak terjadi sangat pesat, sehingga para ahli
menyimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini akan menentukan masa depan
seorang anak.
Pengaruh lingkungan awal pada perkembangan otak akan berdampak
lama. Oleh karena itu, anak yang mendapat stimulasi lingkungan yang baik,
fungsi otaknya akan berkembang lebih baik. Dari kecil anak diajak dan
dibiasakan untuk menggunakan otaknya untuk
berfikir, berimajinasi. Cara ini akan dapat meningkatkan fungsi mielinisasi,
yaitu mengaktifkan sel otak untuk mereproduksi ingatan dan informasi. Orang
yang suka berfikir tak akan mudah kena penyakit pikun. Dari sini anak mulai
dapat dibimbing dan dilatih agar terbiasa menggunakan otaknya untuk berfikir
dan imajinasi. Athoilah pengarang akhlak Islam, yang terkenal dengan Shohibul
Hikam, menjelaskan bahwa: berfikir adalah cahaya hati, jika hilang berfikir
dari dari padanya tiadalah kemilaunya (al fikratu syrâjul qalb faidza
dzahabat falâ idloata lahu).
G. Penutup
Indonesia perlu
banyak belajar dari bangsa lain yang tinggi angka partisipasi pendidikan
warganya. Membutuhkan kampanye terus menerus dan berkesinambungan untuk memacu
angka partisipasi pendidikan anak usia dini. Masih ada 28 juta anak usia 0-6 tahun yang harus
dipikirkan. Jumlah anak usia dini yakni 2-4 tahun akan terus melahirkan
persoalan tanpa perhatian dari semua pemangku kepentingan. PAUD tidak dapat
dipandang sebelah mata, karena usia tersebut merupakan "masa emas" (golden
age) di mana perkembangan otak anak sangat cepat. Sehingga, harus ada upaya
untuk meningkatkan pendidikan dan pembelajaran melalui inovasi kurikulum PAUD
yang berprinsip pada terbentuknya pribadi yang utuh (insan kamil). Namun
demikian, masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi di
Indonesia. Pasalnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya pendidikan
anak usia dini. Selain itu, PAUD belum menjadi "pendidikan wajib"
sebab belum adanya anggaran khusus untuk sektor pendidikan tersebut. Kendala
lainnya adalah tenaga pendidik yang belum memenuhi kualifikasi dan belum
tersedia serta belum semua daerah punya petugas yang menanganinya dengan baik.
Untuk itu perlu
upaya untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan
tersebut. Pemerintah mendorong terselenggaranya sebuah lembaga non-formal. Lembaga PAUD ini merupakan dari, oleh dan untuk
masyarakat. Sifatnya bisa fleksibel baik tempat, waktu dan kurikulumnya.
Sasaran utamanya diarahkan pada anak usia 2-4 tahun. Problem
yang dihadapi adalah masih minimnya tenaga penggerak dan pendidik yang sesuai
dengan amanat undang-undang di Indonesia. Masalahnya masih belum tersedianya pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang
memenuhi kualifikasi yang diharapkan S-1 atau D-4, sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam PP No 19 Tahun 2005. Pendidik dan tenaga kependidikan PAUD
non formal mengandalkan kerelaan masyarakat (tenaga voluntir, bukan PNS). Dan
masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki jurusan PAUD, selain itu
dukungan pemerintah daerah masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu upaya
yang sungguh-sugguh dari semua stakeholder yang ada baik pemerintah maupun
masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian,
Malang, UMM.
Baihaqy
, A. 1999. Pendidikan Pra Natal, Bandung, Rosdakarya.
Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development,
Illionis, University of Missouri, St Louis.
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary
Curriculum, London, Harper dan Row Publisher.
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary
Curriculum, London, Harper dan Row Publisher.
Faure, E et all. 1978. Learning To Be World
of Education Today and Tomorrow, Paris, UNESCO, Harahap, London.
Fromm, E. 1992. Revolution of Hope,
Toward a Humanized Technology, New York, London, Prentice Hall.
John Dewey. 1966. Democracy and Education: An Introduction The Philosophy of Education,
New York, Free Press.
Lickona, T. 1992. Educating For Character, How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, New York, Bantam Book.
Marcon, R.A.
2002. Moving Up Grade: Relationship between Pre School Model and
Later School Succes, Disertasi, Nort Carolina, Nort Carolina University.
Musfiroh, T. 2008. Pengembangan
Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter, dalam Suwito, Umar, dkk,. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building
Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Sukmadinata, Nana, Syaodih.
1999 Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosda Karya.
Toffler, A. 1992. The Third Wave, New York, Harcourt Brace
and World.
Whitney, R. 2005. An Evaluation of a Pre
School Program for at Risk Four Year Olds in Suffolk Virginia Public
School, Disertasi Virginia State University.
Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development,
Illionis, University of Missouri, St Louis.
Berkowitz dalam Lickona, T. Schaps E. and Lewis
C. (2003). CEP’s Eleven Principles of
Effective Character Education, Washington DC., Character Education
Partnership.
Patmonodewo,
S. 2005. Pendidikan Anak Pra Sekolah,
Jakarta, Rieneka Cipta.
Sholehuddin.
1997. Konsep Dasar Pendidikan Pra Sekolah,
Bandung, IKIP.
Silberman, M.L. 2006. Active Learning 101 cara Belajar Siswa Aktif, Terjemah dari Active Learning 101 Strategies to Teach any
Subject, (Raisul Muttaqin, Penerjemah), Bandung, Nusa Media.
Humprey, S. 2008. A Study of The Influence of Pre School Setting on School Achievement’,
Disertasi, Missisipi State University.
[1]
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan
Row Publisher. Hlm. 10
[2]
Whitney, R. 2005. An Evaluation of a Pre School Program for at Risk Four
Year Olds in Suffolk Virginia Public School, Disertasi Virginia State
University. Hlm. 27
[3] Baihaqy , A. 1999. Pendidikan Pra Natal,
Bandung, Rosdakarya. Hlm. 19
[4] Marcon,
R.A. 2002. Moving Up Grade:
Relationship between Pre School Model and Later School Succes, Disertasi,
Nort Carolina, Nort Carolina University. Hlm. 35
[5] Faure, E et all. 1978. Learning To Be World
of Education Today and Tomorrow, Paris, UNESCO, Harahap, London. Hlm. 153
[6] Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan
Pembelajaran, Teori dan Praktek Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada Media Group. Hal. 317
[7] John
Dewey. 1966. Democracy and Education: An
Introduction The Philosophy of Education, New York, Free Press. Hlm. 43
[8] Nana Syaodih Sukmadinata. 1999 Pengembangan
Kurikulum : Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosda Karya. Hlm. 41
[9]
Blenkin, G M dan Kelly, AV. 1981. Primary Curriculum, London, Harper dan
Row Publisher. Hlm. 15
[11] Fromm, E. 1992. Revolution of Hope,
Toward a Humanized Technology, New York, London, Prentice Hall. Hlm. 29
[12]
Toffler, A. 1992. The Third Wave,
New York, Harcourt Brace and World. Hlm. 58
[13] Lickona,
T. 1992. Educating For Character, How Our
School Can Teach Respect and Responsibility, New York, Bantam Book. Hlm. 26
[14] Ibid,
hlm. 32
[15]
Musfiroh, T. 2008. Pengembangan Karakter
Anak Melalui Pendidikan Karakter, dalam Suwito, Umar, dkk,. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building
Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?, Yogyakarta, Tiara Wacana. Hlm. 46
[16] Battistich, V. 2007. Character
Education, Prevention, and Positive Youth Development, Illionis, University
of Missouri, St Louis. Hlm. 64
[18] Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development,
Illionis, University of Missouri, St Louis. Hlm. 72
[19] Fromm dalam Alwisol. 2006. Psikologi …………..hlm. 38
[20]
Berkowitz dalam Lickona, T. Schaps E. and Lewis C. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education,
Washington DC., Character Education Partnership. Hlm. 53
[21] Ibid,
hlm. 59
[22]
Patmonodewo, S. 2005. Pendidikan Anak Pra
Sekolah, Jakarta, Rieneka Cipta. Hlm. 24-30.
[24]
Silberman, M.L. 2006. Active Learning
101: Cara Belajar Siswa Aktif, Terjemah dari Active Learning 101 Strategies to Teach any Subject, (Raisul
Muttaqin, Penerjemah), Bandung, Nusa Media. Hlm. 45
[25]
Humprey, S. 2008. A Study of The
Influence of Pre School Setting on School Achievement’, Disertasi,
Missisipi State University. Hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar