Tulisan Aqil Sirodj hari ini (Selasa, 8
Oktober 2013), menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih mendalam lagi. Selama
dasawarsa ini, dilingkungan pesantren terutama keluarga kiai, muncul “pergeseran”
orientasi keilmuwan. Kalau dulu, hampir
semua anak kyai dan kerabatnya pasti akan dikirim ke pesantren dengan tujuan
mereka menjadi kyai pula. Seiring waktu banyak kalangan keluarga kiai yang
menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi umum.
Menurut
ketua PBNU ini, dalam konteks keilmuwan tentu saja fenomena ini sehat-sehat
saja, karena dinamika zaman telah memantik kesadaran di lingkungan pesantren
untuk meningkatkakan kemampuan intelektualnya secara lebih luas. Hanya yang
masih kerap terjadi di kalangan santri, telah terjadi krisis ulama lantaran
banyak santri yang kurang berminat mendalami ilmu agama. Para santri lebih
kepincut dengan memburu gelar-gelar mentereng serta jabatan-jabatan prestise
ketimbang menjalani hidup sebagai “guru ngaji” yang membimbing dan
peduli terhadap masyarakat tempat mereka tinggal.
Teringat dengan salah satu teman saya yang
saat ini menjadi dosen di Universitas Negeri Jakarta, dia pernah menyampaikan
sebuah pesan kepada anaknya: “Mas (dia panggil), mama lebih senang dan ingin
kamu menjadi seorang ulama (kiai), sebab menurut mama calon pengganti professor
sudah banyak, karena hampir di semua wilayah di Indonesia sudah ada
doctor-doktor muda yang siap menjadi (menggatikannya), tetapi mama “prihatin”
dengan generasi ulama-ulama kita yang ketika meninggal satu belum tentu ada
penerus (penggantinya), lantas sang anak menjawab iya ma, aku akan ikuti
nasehat mama.”
Fenomena
tersebut sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan kiai NU ketika
pembahasan dihubungkan dengan fenomena maraknya kelompok-kelompok Islam puritan
dan radikal. Kalangan Islam Puritan tersebut terlihat lebih “istiqamah” dalam
mengkaji ilmu agama seperti mendalami ilmu hadits
dan tafsir. Mereka itu hidup ber-halaqah yang secara intensif “mengaji”
dan mendakwahkan pandangan puritanismenya kepada masyarakat. Ternyata tidak
sedikit masyarakat yang tertarik dengan dakwah mereka.
Sementara
itu kalangan santri Nadhliyin dalam mempelajari ilmu agama terlihat
kurang intensif, bahkan kemajon. Mereka gampang meloncat-loncat. Mereka
lebih bangga bila membaca buku-buku intelektual semisal Arkoun, Hassan Hanafi,
dan Khalil Abdul Karim.
Maka,
sudah saatnya pergeseran akhlak di lingkungan santri ini mendapat perhatian
serius. Moralitas jelas tidak boleh ditinggalkan. Krisis keteladanan yang
sering terlontar hari ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral. Kaum
santri yang menyimpan banyak ajaran moralitas dan kearifan harus kedepankan
kembali. Kita tidak ingin melihat robohnya “kultur” santri karena menguatnya
arus kekalapan, keserakahan serta kedurjanaan.
Ustadz ijin copast ya?
BalasHapussetujuu pak ustadz,,, mmang skrg inii kbanyakan sprti itu,,
BalasHapusbahkan pondok" yang bernuansa salafi sekarang jg banyak yg berganti mnjadi pndok modern.
pondok" yg dulunya sbg tempat mnuntut ilmu agama, sekarang justru banyak yg berubah fungsi. kebanyakan anak skarang menjadikan pondok sebagai tmpat kost, karena biayanya yg lumayan lebih murah. astaghfirullahh...
saya setuju pak, memang banyak sekali mahasiswa yang kurang berminat untuk belajar di pondok pesantren yang katanya terlalu berat dalam menjalaninya. ilmu agama memang penting tapi ilmu umum juga mendukung dalam kehidupan sehari-hari, jadi menurut saya perlu adanya penyeimbang agar ilmu umum dan agama berjalan berdampingan. terimakasih
BalasHapussetuju bapak, akan lebih baik kalau fungsi dari pondok pesantren tersebut diperbaiki agar dapat bisa menciptakan generasi-generasi muda yang berkompeten dalam ilmu agama dan ilmu umum, terimakasih
BalasHapusmenambahkan sedikit...
BalasHapusmenurut saya bukan pesantrennya yang perlu diperbaiki, tapi semua dimulai dari kesadaran masing-masing.
yang sangat memprihatinkan di zaman sekarang ini, banyak orang menuntut ilmu di pesantren kemudian menjadi pandai berdakwah, pandai mengajar madrasah, tp justru kepandaiannya itu dijadikan sebagai alat mencari uang, sehingga semua dilakukan dengan pamrih.
saya disini bukan mengkritik orang lain, tapi mengkritik saya sendiri.
karena terkadang saya pun demikian..
semoga bisa dijadikan bahan refleksi diri untuk kita semua. amin.
terimakasih.